Roma: Kesederhanaan yang Memikat dan Menyadarkan dalam Puisi Bergerak

Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar


Sumber Netflix

 “Hidup itu sederhana kita lah yang membuatnya rumit” - Konfusius.
Di tengah hingar bingar efek kamera dan pilihan warna- warni kompleks yang ditawarkan oleh dunia perfilman modern. Roma hadir dengan efek yang mengajak kita kembali ke masa-masa ketika teknologi pengambilan gambar manusia belum secanggih saat ini. Roma hadir bukan Cuma sebagai ajang pamer para sinematografer ataupun visi hebat sang sutradara, Alphonso Cuaron. Roma adalah film yang begitu sederhana. Kesederhanaannya lah yang membuat film ini istimewa. Berpikir sederhana adalah hal yang paling sulit dilakukan. Dan Cuaron berhasil membuat sesuatu yang sederhana.

Cerita Roma begitu sederhana dan terasa alami. Kita tidak digiring untuk menebak-nebak akhir cerita ataupun adegan selanjutnya. Ketika satu persatu gambar monokrom bermunculan di hadapan kita. Kita dibiarkan untuk menikmati cerita. Kita dibiarkan untuk masuk ke dalam cerita yang dibuat semirip mungkin dengan kehidupan sehari-hari. Begitulah cara film ini bertutur dan menyapa kita. 

Cerita Roma adalah tentang kehidupan sehari-hari pembantu rumah tangga, Cleo (Yalitza Aparacio). Ia begitu dekat dengan anak-anak majikan yang dijaganya. Ia diperlakukan baik oleh tuan rumah sebagaimana ia memperlakukan tuan rumahnya dengan baik. Sofia (Marina de Tavira), majikannya juga sedang berada dalam masa-masa sulit sehingga Cleo begitu mempunyai andil dalam membesarkan anak-anak itu.

Cerita berlanjut dengan masalah Cleo dengan kekasihnya, Fermin (Jorge Antonio Guerrero). Cleo yang terlanjur mengandung malah ditinggal lari olehnya. Cleo yang bingung pun dengan takut mengadukan hal tersebut pada Sofia. Sofia pun mendukungnya dan membawanya menemui dokter kandungan. Cerita bergulir dengan lembut dan dengan alur yang tidak terlalu cepat. Inilah refleksi film yang sesungguhnya. Refleksi kehidupan nyata. 

Roma adalah film yang berasal dari otak jenius Alphonso Cuaron. Pengamatannya atas isu sosial sangat berpengaruh dalam tema yang dipersembahkan dalam film ini. Cuaron yang memang terkenal dengan film yang bertemakan isu sosial berhasil membuat kita terpukau dengan idenya. idenya tidak liar seperti para sineas di genre fantasi atau Sci-Fi. Meskipun ia sendiri sempat menyutradarai Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (2004). 
Sumber Imdb

Gambar demi gambar berlalu dengan begitu cantik dan unik. Kesederhanaan cerita film ini begitu mengiang di otak dan membuat kita berpikir. Sekompleks apapun kita mengharapkan efek digital yang mampu dibuat oleh para sineas. Kesederhanaan adalah suatu yang begitu artistik dan mahal. Gambar-gambar indah ini pun dibayar lunas oleh juri Oscar dalam kategori Best Cinematography.

Film ini juga menyoroti sekilas perang Meksiko pada tahun 1970an. Perang yang berjalan di jalanan kota begitu dekat dan memberikan beragam emosi bagi penonton. Perang ini  juga memberikan momen yang merupakan awal dari kejutan yang akhirnya ditutup dengan adegan pantai yang terasa begitu istimewa dan seakan disimpan untuk penutup yang sempurna.

Meskipun tak berhasil meraih Best Picture di ajang Academy Award 2019, Roma tak pulang dengan tangan hampa. Cuaron berhasil meraih Best Director dan Best Cinematography. Film ini juga berhasil meraih Best Foreign Language. Kendali bahasa adalah salah satu aspek yang membuat film ini sulit meraih perhanggaan tertinggi insan perfilman tahun 2018.

Pengalaman menonton film karya Cuaron ini adalah sesuatu yang menyenangkan. Film ini berhasil menyadarkan kita bahwa film bukan hanya sesuatu yang diramu sedemikian rupa agar dapat menampilkan khayalan liar kita. Film adalah gambaran kehidupan manusia dan film ini berhasil menampilkan itu.

Akhir kata, meskipun banyak pendapat yang menyebutkan bahwa film ini membosankan dan tidak mempunyai klimaks cerita. Ya, itulah dunia nyata. Membosankan dan tidak seru. Itu adalah bukti bahwa film ini sangat sempurna dalam menampilkan kenyataan dalam kefanaan dunia. Adios.

Comments