Sepakbola, Olahraga yang Dekat dengan Peradaban Manusia

oleh : Syafril Agung Oloan Siregar 
           
Solidaritas Glasgow Celtic untuk Palestina


Hampir semua orang mengetahui sepakbola. Perbincangan tentang olahraga paling populer di dunia ini seolah tak pernah habis dibicarakan. Mulai dari di warung kopi, di sekolah-sekolah hingga di dunia maya. Perdebatan mulai dari yang paling rasional dengan fakta-fakta yang tersusun rapi hingga ucapan kosong beriringan silih berganti menjadi bahan pembicaraan. Sepakbola, lebih dari sekadar olahraga. Sepakbola adalah penghidupan bagi banyak orang. Sepakbola adalah alat propaganda. Sepakbola adalah alat pencitraan politik.
            Lihat bagaimana para politikus sering berjanji akan membangun fasilitas sepakbola yang memadai bagi masyarakatnya apabila ia terpilih. Lihat bagaimana mereka tersenyum di stadion-stadion memamerkan seolah mereka paham dan peduli dengan masa depan olahraga tercinta ini. Padahal, FIFA sudah melarang mengaitkan sepakbola dengan politik.
 Politik yang dianggap menjemukan itu pada dasarnya adalah cara kita untuk mendapatkan apa yang kita mau. Setidaknya Sesuai dengan teori politik Aristoteles, Politik adalah usaha yang ditempuh untuk mewujudkan kebaikan bersama. Politik itu sekilas memang tampak sangat jauh dengan sepakbola yang nampaknya penuh dengan kesenangan. Tetapi, coba lihat apakah sepakbola memang hanya penuh dengan kesenangan?
Sepakbola tidak sesederhana sebuah pertandingan yang digelar demi meraih sebuah trofi dan menghibur penonton. Sepakbola jauh lebih kompleks dari itu. Seperti disebutkan di atas, sepakbola bisa menjadi alat propaganda. Jika memperhatikan sejarah, Benito Mussolini sang dictator Italia yang terkenal itu pernah menjadikan sepakbola alat untuk mempropaganda paham fasisnya. Hal ini dapat terlihat di Piala Dunia 1934 dimana Italia adalah tuan rumah. Saat itu, sang pemimpin mengancam para pemain Italia dengan ancaman mati. Hasilnya Italia berhasil keluar menjadi juara usai mengalahkan Cekoslowakia di final.
Bapak Sepakbola Indonesia
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Soeratin dan rekan-rekannya mendirikan PSSI untuk melawan penjajah. Sepakbola bukan sekadar olahraga yang memeras keringat. Tetapi juga sebagai alat pergerakan. Melalui sepakbola lah mereka mebentuk persatuan. Bapak bangsa Indonesia, Tan Malaka bahkan menganggap kalau sepakbola adalah bagian dari jati diri bangsa.
Bicara soal sepakbola dan politik. Kita semua pasti masih ingat betul beberapa tahun yang lalu saat Persib Bandung dihukum oleh komisi disiplin akibat mereka membuat koreo ‘Save Rohingya’ di sebuah pertandingan. Amarah Bobotoh menggemparkan dunia nyata dan maya. Aksi mereka selanjutnya benar-benar membalaskan semuanya. Mereka mengumpulkan uang untuk membayar denda itu.
Pernah juga di satu pertandingan Liga Champions, fans Glasgow Celtic dihukum karena membentangkan bendera Palestina.. UEFA pun menjatuhkan hukuman bagi Celtic karena melanggar peraturan yang menyebutkan menjauhkan sepakbola dan politik sejauh-jauhnya.
Ada lagi sebuah kisah pada saat kualifikasi Piala Dunia antara Malaysia dan Korea Utara. Pada saat itu, pertandingan kedua negara harus ditunda beberapa kali karena kedua negara sedang panas setelah pembunuhan Kim Jong-Nam di Kuala Lumpur. Hubungannya dengan sepakbola apa ya? Bukannya FIFA sudah menjauhkan sepakbola dengan politik. Ini berarti hubungan kedua negara masih bisa mempengaruhi sebuah pertandingan sepakkbola.
Saya ambil lagi contoh hubungan sepabola antara negara tercinta dengan negara jiran kesayangan kita yang selalu panas. Hubungan kedua negara yang hampir kembar ini selalu panas baik di bidang politik, sosial, budaya, hingga olahraga. Dasar dari hubungan ini berakar pada masa-masa awal dimana Indonesia tidak menghormati kemerdekaan Malaysia yang merupakan hadiah dari Britania Raya. Hubungan politik yang panas ini lama-lama menjalar kepada bidang olahraga terutama sepakbola yang paling populer.
Lihat bagaimana panasnya pertandingan Argentina dengan Inggris. Hal ini akibat sebuah masalah politik antara kedua negara soal kepemilikan pulau. Politik sangat dekat dengan sepakbola dan kita tidak bisa menafikannya. Tetapi, apakah ekspresi politik itu harus dilarang disepakbola?
. Gerard Pique, Pemain bertahan Barcelona, sempat mempertanyakan mengapa ekspresi politik seorang pesepakbola harus ditekan. “Kami adalah pesepakbola. Tetapi, kami juga adalah orang biasa. Mengapa seorang jurnalis atau seorang mekanik boleh mengekspresikan diri mereka sedangkan kami tidak?” Ujarnya.
Kita adalah manusia biasa. Yang butuh mengekspresikan pendapat kita di medium apapun. Sepakbola adalah olahraga yang ekspresif. Sama seperti politik yang ekspresif. Pesepakbola bukanlah mesin penghasil uang. Mereka juga butuh ruang untuk berekspresi. Jika seorang politikus menjadikan sepakbola menjadi alat kampanyenya, menagapa kita dilarang?

Sumber: panditfootbal.com, medium.com,


Comments