Kepergian Annelies Bukanlah Akhir bagi Minke
Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar
![]() |
| Dokumentasi Pribadi |
Tentang Tetralogi Buru
Buku II- Anak Semua Bangsa
"Annelies telah berlayar. Kepergiannya laksana cangkokan muda direnggut dari batang induk. Perpisahan ini jadi titik batas dalam hidupku: selesai sudah masa-muda. Ya, masa muda yang indah penuh harapan dan impian–dan dia takkan balik berulang.
Belakangan ini matari bergerak begitu lambat, merangkaki angkasa inci demi inci seperti keong. Lambat, ya lambat–tak peduli jarak yang ditempuhnya takkan mungkin diulang balik atau tidak.
Mendung sering bergantung tipis di langit, segan menjatuhkan gerimis barang sesapuan. Suasana begitu kelabu seakan dunia sudah kehilangan warna-warni selebihnya.
Orang tua-tua melalui dongengan mengajarkan akan adanya dewa perkasa bernama Kala–Batara Kala. Katanya dialah yang mendorong semua saja bergerak semakin lama semakin jauh dari titiktolak, tak terlawankan, ke arah yang semua saja tidak bakal tahu. Juga aku manusia yang buta terharap hari-depan, hanya dapat berharap tahu. Uh, sedang yang sudah dilewati tak semua dapat diketahui.
Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga–abadi. Di depan sana ufuk itu juga–abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukkan dan menggenggamnya dalam tangan–jarak dan ufuk abadi itu.
Batara Kala telah menyorong Annelies melalui jarak-jarak, aku sendiri disorongnya melalui jarak-jarak yang lain, makin berjauhan, makin pada tak tahu apa bakal jadinya. Jarak yang semakin luas membentang membikin aku jadi mengerti: dia bukan sekedar boneka rapuh. Barangsiapa dapat mencintai begitu mendalam, dia bukan boneka. Mungkin juga dialah satu-satunya wanita yang mencintai aku dengan tulus. Dan semakin jauh juga Batara Kala menyorong kami berpisah, makin terasa olehku: sesungguhnya memang aku mencintainya." - Minke.
Itulah paragraf pembuka dari buku kedua tetralogi buru, Anak Semua Bangsa. Membagi tahu pada kita betapa sakit hati Minke usai kekasih hatinya direnggut paksa oleh bangsa penjajah. Baiklah, bagi yang mengharapkan akhir yang bahagia bagaikan di dongeng-dongeng Disney, ingat kata Nyai Ontosoroh.
"Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya, tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini."
Begitulah, kisah asmara Minke dan Annelies berakhir di bab II buku ini. Kisah yang tragis itu harus berakhir pahit. Minke, si filoginis harus menelan pil pahit sekali lagi. Kali ini pilnya ribuan kali lebih pahit dari pil sebelumnya.
Minke dan Nyai pun melanjutkan hidup, mencoba menyembuhkan luka yang takkan mungkin sembuh. Oh luka itu betapa menyiksakan hati. Kisah penuh tragis ini benar-benar menyayat-nyayat perasaan. Oh Minke. Oh Annelies.
Petuah-Petuah Kawan-Kawan Sejati
![]() |
| Cover Versi Internasional |
Dalam masa-masa sulit, hadirlah para sahabat yang silih berganti datang memberi pengajaran kepada Minke. Jean Marais, mantan serdadu Belanda asal Perancis yang pincang kakinya. Sudah sejak buku pertama memberikan nasihat-nasihat kepada Minke. Mengingatkan Minke untuk selalu menjadi terpelajar yang bersikap seperti terpelajar. Tidak tergoda menuduh sesuatu tanpa adanya bukti.
Begitupun Kommer, jurnalis Indo yang menulis dengan Melayu. Ia sudah membela Minke dan keluarga sejak masalah mereka dengan Majelis Peradilan Eropa. Ia kerap kali mengingatkan Minke untuk dapat kembali hidup bahagia. Agar kembali maju. Tanggalkan beban-beban pikiran itu di belakang. Just get a life, Minke!
Minke juga bertemu dengan sinkeh yang berjuang untuk negaranya. Berjuang agar terlepas dari tirani Dinasti Qing yang semena-mena. Perjuangan mereka nantinya akan berbuah pada saat Revolusi Xinhai di tahun 1911. Sepuluh tahun dari kejadian buku ini.
Sinkeh ini benar-benar memukau Minke. Membuat nasionalismenya semakin terbakar. Ia yang juga terganggu dengan tuduhan kawan-kawan yang menyebutnya tidak tahu tentang negerinya. Minke pun mencari jejak. Mencari asa untuk negerinya. Ia kemudian mendapatkan petunjuk di daerah pabrik gula, Tulangan, Sidoarjo.
Perjumpaan dengan Ter Haar yang begitu percaya dengan kekuatan modal turut pula memberikan pengajaran bagi Minke. Ia mengajarkan Minke suatu prinsip yang nantinya akan dipegang teguh olehnya.
Perjuangan Bukan Hanya Sekadar di Hindia, Tetapi di Seluruh Bangsa Dunia
![]() |
| Eyang Pram |
Selaras dengan judul buku ini, Anak Semua Bangsa, buku ini bukan hanya menyoroti perjuangan di Hindia. Buku ini menyoroti 'anak semua bangsa'. Mulai dari pergerakan angkatan Muda Tiongkok dalam membasmi Dinasti Qing yang semakin menekan mereka. Ada juga membahas tentang Jepang yang perlahan tampil di muka dunia sebagai kekuatan baru yang disegani.
Jepang memang meningkat pesat usai Kaisar Meiji merestorasi negara matahari terbit itu menjadi lebih modern. Hasil yang akan membuat Jepang sebagai kekuatan yang diperhitungkan berpuluh-puluh tahun setelahnya. Restorasi yang dilakukan Jepang membuktikan bahwa modernisasi itu tidak harus menghilangkan semangat tradisional dan budaya. Jepang tetap memegang kebudayaan mereka dengan tangguh, malah menyebarkannya ke seluruh dunia.
Anak Semua Bangsa juga menyoroti tentang Filipina. Filipina yang lepas dari penjajahan Soanyol pada tahun 1898 dan mengangkat Emilio Aguinaldo sebagai presiden pertama mereka. Minke terlihat sangat mengagumi semangat revolusi Filipina.
Di Hindia, Minke membahas tentang Aceh yang semakin hangus dibantai oleh tentara kolonial pimpinan van Heutzs. Ada lagi kisah keluarga Trunodongso yang terusir dari tanah sendiri. Itu adalah buah dari petualangannya ke Tulangan. Pertemuan dengan Trunodongso sekeluarga, memberinya semangat untuk membela bangsanya.
Di Tulangan pula ia bertemu dengan Keluarga Sastro Kassier yang menjual putrinya sendiri kepada administrator pabrik gula. Putrinya memberontak dan melawan dengan caranya sendiri. Berakhir tragis tetapi itulah perjuangan. Ia sudah berjuang dan mendapatkan hasilnya.
Begitulah buku ini, banyak membahas tentang pergerakan anak-anak semua bangsa dalam menjadikan negerinya lepas dari belenggu penjajahan. Minke sendiri masih gamang akan prinsipnya. Di satu sisi ia masih merasa kagum dengan keagungan Eropa. Disisi lain Eropa sudah semakin memuakkan baginya.
Memang, novel ini adalah pencarian jati diri bagi Minke. Proses turun langsung begitu istilah yang diberikan oleh Pram terhadap tingkah laku Minke di buku ini. Pram menjadikan buku ini lebih kompleks dibandingkan buku pertama, tetapi buku ini adalah buku urutan terakhir di tetralogi ini menurut saya. Bukan jelek, tetapi buku lainnya lebih menceritakan banyak hal.
Memang, novel ini adalah pencarian jati diri bagi Minke. Proses turun langsung begitu istilah yang diberikan oleh Pram terhadap tingkah laku Minke di buku ini. Pram menjadikan buku ini lebih kompleks dibandingkan buku pertama, tetapi buku ini adalah buku urutan terakhir di tetralogi ini menurut saya. Bukan jelek, tetapi buku lainnya lebih menceritakan banyak hal.
Penutup
Wahai anak-anak manusia segala bangsa, Bacalah buku ini agar kalian lebih memahami makna hidup. Agar kalian tahu hitam putih penjajahan. Tidak semua bangsa barat itu penjajah. Ada juga yang peduli dan kalian akan mengetahuinya setelah membaca roman ini.
"Semua yang terjadi di kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir." - Kommer.
#30DWCDay8
#Squad5
#30DWCDay8
#Squad5




Comments
Post a Comment