Apakah Ada yang Tertinggal Saat Membicarakan Cinta?
Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar
Judul
|
: What They Don’t Talk When They Talk
About Love
|
Sutradara
|
: Mouly Surya
|
Penulis Skenario
|
: Mouly Surya
|
Genre
|
: Drama
|
Pemain
|
: Ayushita, Nicholas Saputra, Karina
Salim, Anggun Priambodo, Lupita
Jennifer, Jajang C. Noer
|
Rilis
|
: Mei 2013
|
Durasi
|
: 104 Menit
|
What They Don't Talk When They Talk About Love selanjutnya disingkat Don't Talk Love adalah film yang bercerita bagaikan puisi yang diterjemahkan dalam bentuk visual. Mouly Surya sang sutradara benar-benar membuat film ini seperti ia sedang bermain-main dengan cara yang elegan. Film yang terlihat seram karena reputasinya yang sudah melanglangbuana ke berbagai festival film, tetapi percayalah film ini tidak sesulit yang dibayangkan. Film ini menyenangkan dan menggugah.
Don't Talk Love bercerita tentang Diana (Karina Salim), seorang pengidap Miopia. Ia hanya dapat melihat hingga 2 cm. Pada suatu saat, ia jatuh cinta dengan Andhika (Anggun Priambodo) yang merupakan murid baru di sekolahnya. Berbagai cara ia lakukan untuk menarik perhatian Andhika. Cinta kemudian perlahan mengubah ia yang pemalu menjadi lebih terbuka. Masalah lain: ia belum menstruasi. Mimpi: menjadi seorang penari balet.
Ada juga Fitri (Ayushita), seorang yang buta sejak lahir. Di sekolahnya, ia jatuh cinta dengan sosok legenda berupa dokter hantu. Pada satu hari, ketika ia sedang curhat di kolam refleksi, seseorang datang menghampiri. Ia adalah Edo (Nicholas Saputra). Ternyata, teman curhat Fitri selama ini bukanlah dokter hantu, melainkan Edo yang merupakan seorang tuli. Kenapa? Terkejut?
Film ini lebih banyak bercerita melalui gambar-gambar dibandingkan menggunakan dialog. Susunan gambar-gambar itu sambung-menyambung membentuk cerita yang utuh. Karena itulah, dibutuhkan fokus tambahan untuk menonton film ini. Karena jika terlewat satu detik saja, susunan ceritanya akan buyar.
Kualitas Yunus Pasolang lagi-lagi diperlihatkan di film ini. Dinamika kameranya hampir selalu terlihat luarbiasa dan memukau. Film ini semakin indah dengan sejumlah longshot statis yang mengutamakan detail gambar. Keindahan gambar di film ini lah yang mempersembahkan Yunus Pasolang Piala Maya 2013 kategori Sinematografi Terbaik. Hal yang seharusnya sudah dapat diduga ketika menonton film ini.
Aspek teknis lain yang juga memukau adalah pewarnaannya yang sangat nyaman dipandangi mata. Begitupun dengan musiknya yang membawa penonton semakin terlarut dalam cerita.
Dari segi penampilan pemain, Nicholas Saputra dan Ayushita berhasil menampakkan performa kelas atas dan chemistry yang sama bagusnya. Tak ayal mereka diganjar sebagai Pasangan Terbaik di ajang Indonesia Movie Awards tahun 2014. Jajaran aktor-aktris lainnya sebenarnya juga menampakkan performa yang bagus, meskipun tidak seluarbiasa Nico-Ayu.
Cinta Itu Tempatnya di Hati Bukan di Indra
Saya sudah pernah membahasnya di artikel saya yang lain, jikalau cinta itu sulit didefinisikan. Cinta itu bisa hadir kapan saja, dimana saja, dan dengan cara-cara yang absurd bahkan di luar nalar manusia normal.
Cinta itu tidak bisa dibatasi dengan indra manusia karena pada dasarnya, saat satu indra kehilangan fungsinya, indra yang lain akan semakin tajam. Ketajamannya bahkan bisa melebihi mereka yang seluruh indranya berfungsi dengan normal.
Di Don't Talk Love, kisah cinta yang absurd itu kembali diceritakan. Kali ini lewat pasangan Fitri-Edo. Bayangkan yang satu buta dan yang lainnya tuli. Tetapi, cinta mencarikan jalan bagi mereka.
Dalam satu adegan, Fitri dan Edo tampak hidup di satu kontrakan kecil, bahagia. Dalam adegan itu, Fitri diperlihatkan tidak buta dan Edo juga diperlihatkan tidak tuli. Dengan keadaan itu, mereka terlihat kurang nyaman dan berharap sebaliknya. Dengan alasan bahwa romantisme cinta lebih indah dengan keadaan buta atau tuli. Benar-benar penggambaran yang menunjukkan keabsurdan cinta, bahkan dalam khayal.
Sesuai judulnya, Don't Talk Love memang membahas tentang kisah cinta yang jarang masuk ke ranah pembicaraan manusia tentang cinta. Jika biasanya pembahasan cinta adalah seputar mereka-mereka yang 'normal', kali ini Don't Talk Love membahas sesuatu yang agak berbeda. Bukan kisah cinta yang megah, kisahnya hanya tentang manusia yang 'berbeda' rutinitas dan cara hidupnya dengan manusia lain. Berbeda disini bukan berarti harus dibedakan. Mereka sama dalam hak apapun, termasuk dalam hal jatuh cinta.
Kisah-Kisah Lainnya yang Tidak Kalah dari Kisah Cinta
Don't Talk Love bukan hanya bercerita tentang cinta. Film ini juga bercerita tentang hal-hal lain. Salah satunya adalah rasa sesal. Rasa sesal adalah sesuatu yang sering melekat dengan manusia. Lekatannya kadang membuat malam-malam semakin temaram dan kehidupan terasa semakin berat.
Apa sebenarnya rasa sesal? Apakah rasa sesal seseorang terhadap sesuatu sudah tepat atau sebenarnya itu bukanlah rasa sesal, melainkan hanya rasa lain yang diartikan sebagai rasa sesal. Di film ini, pertanyaan ini kurang lebih terjawab seperti berikut.
Dalam satu adegan, Maya, seorang calon aktris disuruh berakting menyesal karena ia buta. Tetapi, aktingnya terlihat buruk dan tidak alami karena ia memang tidak mempunyai perasaan menyesal karena buta. Mengapa? Karena ia sudah buta sejak lahir. Apa yang mau disesali? Toh, dia tidak pernah merasakan apa itu melihat. Seseorang hanya dapat menyesal apabila ia sudah tahu apa rasanya hal yang tak tergapai itu.
Hal-hal seperti ini lah yang memberikan tamparan kepada saya. Apakah saya harus menyesal tidak menjadi ini atau tidak menjadi itu? Mengapa saya harus menyesal? Apakah karena saya tidak pernah merasakannya? Apa yang salah? Saat saya tersadar, ternyata saya hanya butuh lebih banyak bersyukur atas hidup saya, itu kuncinya. Sesederhana itu.
Kisah ini juga menjawab pertanyaan saya tentang bagaimana orang-orang 'itu' menjalani hidup. Apakah mereka bisa hidup tanpa belas kasih orang lain? Bisa. Mereka lebih dari bisa untuk mengurus diri sendiri. Mereka dapat berjalan dengan menghitung langkah mereka atau menyisir rambut dengan metode yang sama. Mereka sama, setara dengan manusia lainnya, dan tidak ada yang berbeda. Mereka tidak perlu dibedakan.
Penutup
Film ini adalah film yang sangat indah. Bagaikan puisi, film ini mampu membuat kehidupan penontonnya semakin indah dengan gaya penceritaannya dan gambar-gambarnya. Beragam pesan dan interpretasi masing-masing penonton akan filmnya akan semakin membuat film ini menjadi salah satu yang terbaik. Film ini mempunyai banyak sisi yang dapat dibahas satu persatu hingga dapat membentuk karya sendiri. Film ini tidak semenakutkan labelnya sebagai film festival. Percayalah.







Comments
Post a Comment