Minke: Antara Cinta dan Perjuangan
Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar
Buku III - Jejak Langkah
"Setiap permulaan memang sulit. Dengan memulai, setengah pekerjaan sudah selesai." - Gubernur Jenderal Van Heutsz (Halaman 343).
Jika kau pernah membaca sejarah Perang Aceh dan mengenal van Heutsz , betul ini adalah van Heutsz yang itu. Orang yang berhasil melumpuhkan Aceh untuk Belanda. Orang yang menjadi pahlawan di negara bawah laut di benua biru sana tetapi menjadi iblis di tanah Darussalam. Entah dia benar-benar pernah mengucapkan kata-kata di atas atau tidak. Yang pasti, di buku ini ia adalah salah satu pecinta Minke. Penjinak dapat dikatakan.
Kisah ini bermula dengan Betawi terhampar luas di depan mata Minke. Sudah lebih setahun ia menunda tugas belajarnya di STOVIA, sekolah calon dokter bumiputra. Bagi bangsawan Jawa, pekerjaan itu sebenarnya tidak layak. Itu adalah pekerjaan pelayan. Tak layak bagi kaum darah biru. Tetapi, bagi Minke dia adalah manusia bumi. Tidak terbatas dengan aturan-aturan kaku buatan manusia.
Di buku ini, pembaca dapat menyaksikan Minke yang berubah dibandingkan di dua buku pertama. Disini, ia lebih memikirkan kepentingan bangsa. Semuanya bukan semata-mata pelarian dari kehidupan yang menyedihkan. Semangat nasionalismenya semakin berkobar. Kejadian di masa lalu turut menjadikannya semakin ingin menantang para penjajah.
Petualangannya di Betawi dimulai dengan gilang gemilang. Di hari pertama ia sudah diajak seorang kawan jurnalis untuk berkunjung ke kamar bola de Harmonie (sekarang sudah tidak ada). Disanalah ia pertama kali bertemu dengan van Heutsz dan van Kollejwin. Pada tatapan pertama, van Heutsz langsung terpukau dengan kecerdasan Minke. Dimulailah ikatan mereka. Sang Tuan Besar Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan 'anak angkatnya'.
Alkisah, Minke kemudian bertemu dengan dara pelipur lara. Pengganti sang bunga penutup abad. Seorang gadis Tionghoa yang manis, Ang San Mei atau Mei. Mereka kemudian memadu kasih dan menikah. Tetapi dasar Minke, kepahitan terus menerus menghantui. Mei mati muda karena penyakit.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Minke kemudian dipecat dari sekolah dokter. Ia juga dituntut untuk membayar semua beasiswa yang telah diterimanya. Dengan bantuan Nyai Ontosoroh, hutang pun terbayar lunas.
Pesan terakhir Mei kepadanya agar ia berorganisasi kemudian membuatnya terlunta-lunta menawarkan pada para pembesar bumiputra untuk mendirikan organisasi persatuan. Bertemulah ia dengan seorang demang. Mereka pun mendirikan Sjarikat Prijaji dan koran berbahasa Melayu, Medan. Sayangnya, syarikat tidak terlalu sukses dan bubar bebarapa saat kemudian.
Syarikat boleh tumbang, tetapi Medan melaju terus bagai tak terbendung. Pembacanya tersebar di seluruh pulau Jawa. Bahkan sampai ke luar. Dengan pendukung yang semakin banyak, pemerintah Hindia semakin ketakutan dengan ancaman Minke.
Minke semakin populer setelah didirikannya Sjarikat Dagang Islamiyah. Pendukungnya semakin banyak. Ratusan ribu jiwa. Ancaman untuk Hindia Belanda semakin nampak nyata. Usai habisnya masa jabatan van Heutsz, 'bapak angkat Minke', ia pun tersingkir. Ditumpaskan.
Bagian Terbaik dari Tetralogi Buru
![]() |
| Cover Versi Internasional |
Menurut pendapat pribadi, buku ini adalah bagian terbaik dari Tetralogi Buru. Di buku ini, Minke benar-benar matang dalam pikirannya. Ia bukan lagi anak remaja terpelajar yang mengagung-agungkan Eropa. Ia adalah terpelajar yang menginginkan perubahan bagi negerinya. Kemerdekaan. Ia sudah belajar bahwa bangsa Eropa itu tak seindah di roman-roman dan buku-buku Eropa. Setidaknya, di tanah jajahan orang baik pun bisa menjadi monster kejam. Ia belajar dan sudah merasakan.
Di Jejak Langkah, kembali pertemuan dengan orang-orang banyak mempengaruhi cara berpikirnya. Van Heutsz, Sandiman, Marko, Douwager, Frischbotten, Thabrie. Mereka semua banyak memberikan petuah-petuah atau pandangan mereka akan kehidupan. Nyai Ontosoroh kembali memberikan nasihat dalam kemuculannya yang sedikit. Si nyai ini memang, sedikit tapi menggigit.
Di buku ketiga juga banyak kejadian dan tokoh-tokoh nyata yang disinggung. Lebih banyak dibandingkan dua pendahulunya. Meskipun banyak yang disamarkan, semuanya masih tampak jelas, apalagi bila paham konteks aslinya. Itu yang membuat buku ketiga ini bukan sekadar roman biasa tetapi fiksi sejarah yang agung.
Jejak Langkah Minke Yang Semakin Gagah
Seperti judulnya, Jejak Langkah, buku ini menceritakan tentang langkah Minke yang semakin lantang dalam menantang kolonialisme. Langkah yang dipilihnya adalah lewat jalur tulisan, menjadi seorang jurnalis. Ia paham kapan harus keras seperti karang dan kapan harus lunak dan menjadi tandem mereka.
Hal yang paling menarik di Jejak Langkah adalah persahabatan Minke dengan Gubernur Jenderal van Heutsz. Pemikiran mereka yang sering berseberangan tidak membuat mereka bermusuhan. Van Heutsz bahkan nampak sangat menyukai pemikiran Minke. Sudah sejak awal ia memuji Minke dan setelahnya, terus menerus menguji ketangguhan Minke dalam pemikirannya. Ia juga beberapa kali melindungi Minke yang sedang banyak diburu lawan-lawannya.
Jejak langkah lain yang dilakukan Minke adalah melepaskan diri dari kekelaman masa lalunya. Ia pergi meninggalkan Surabaya dan berangkat ke Betawi, kemudian tinggal di Buitenzorg dan kantor beritanya berada di Bandung. Ia bukan hanya meninggalkan masa lalunya di belakang, tetapi juga sudah siap untuk menerima cinta lain di hidupnya. Ia tercatat menikah dua kali di buku ini.
Pernikahan pertama adalah dengan Mei. Sedangkan yang kedua adalah dengan Prinses Kasiruta atau Prinses Dede Maria Futimma de Sousa. Uniknya, baik tanpa atau dengan Annelies, Minke tidak pernah menikahi gadis Jawa Totok. Annelies lah yang hampir mendekati dengan mempunyai darah setengah Jawa. Semua pernikahan ini berakhir pedih. Mei mati dan Prinses terpaksa tercerai karena tugas.
Perlahan langkah-langkah Minke menginspirasi para nasionalis lain untuk mengikuti jejak sang guru. Jejak langkah itulah yang nantinya akan menyemangati mereka berpuluh-puluh tahun setelahnya. Itu adalah dampak dari jejak langkah Minke.
Jejak Langkah juga sama seperti dua buku pertama. Buku ini tetap memberikan porsi besar bagi tokoh-tokoh perempuan, malahan lebih besar. Bila sebelumnya sudah ada Nyai Ontosoroh, Bunda, Annelies, dan Surati maka kali ini ada Ang San Mei, Prinses Kasiruta, Mir Firschbotten, Gadis Jepara, hingga Dewi Sartika. Mereka adalah karakter perempuan yang ikut menjejakkan langkahnya dalam catatan dunia.
Penutup
Kalian adalah penjejak langkah masa kini. Buku ini akan membantu kalian mendapatkan gambaran jejak seperti apa yang ingin kalian berikan untuk bangsa, negara, dan dunia. Apakah jejak yang mudah dihapuskan karena kemudahan penjejakannya. Ataukah jejak yang takkan terhapus karena kesulitan jejaknya terciptakan.
"...bukan darah, bukan keturunan, yang menentukan sukses-tidaknya seseorang dalam hidupnya, tetapi: pendidikan lingkungan dan keuletan. Bahwa sukses bukan hadiah cuma-cuma dari para dewa, dia hanya akibat kerja keras dan belajar." - Minke (Jejak Langkah - halaman 576).
#30DWCDay9




Comments
Post a Comment