Indonesia dan Malaysia, Serumpun tetapi Keruh

Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar

Demostrasi Oleh Warga Negara  Malaysia


'Ganyang Malaysia! Malingsia! Malaysia Anj*ng!' Itu adalah segelintir kata-kata hinaan dari segenap tumpah darah Indonesia kepada sang tetangga yang sangat dipedulikan, Malaysia. 'Indon! Bangsa budak!' Itulah balasan dari rakyat Malaysia kepada Indonesia. Sudah banyak topik-topik panas yang menjadikan hubungan Indonesia dan Malaysia selalu jadi perhatian. Tapi, apa sebenarnya latar belakang kekeruhan dua negara yang hampir kembar ini?

Kampanye Ganyang Malaysia Presiden Soekarno


Yogyakarta, 23 September 1963. Di depan khalayak ramai, Presiden Soekarno dengan lantang meneriakkan 'Ganyang Malaysia'. Teriakan itu kemudian disambut dengan antusias oleh para pendengar. Hal ini bukan tanpa sebab, Indonesia khususnya Soekarno menganggap kalau pembentukan Federasi Malaysia adalah bentuk neo-kolonialisme Inggris. Malaysia hanya akan jadi boneka Inggris. Hal ini tentu saja mengganggu Indonesia yang secara tegas menyatakan anti penjajahan.

Malaysia berdiri atas perundingan di London pada Oktober 1961. Federasi Malaysia yang terdiri dari tanah Melayu, Singapura, Brunei, Sarawak, dan Sabah dianggap sebagai akal-akalan saja. Itu hanyalah penjajahan model baru.

“Indonesia mencurigai adanya intrik-intrik  Inggris dan sangat tidak suka dengan fakta bahwa Federasi Malaysia akan didirikan pada tanggal 16 September (1963)," tulis Baskara Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika Konflik Perang Dingin 1953-1963 (2008).

Pramoedya Ananta Toer dalam pengantarnya untuk buku karya Greg Poulgrain The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945-1965 menyebut konfrontasi sebagai upaya untuk membantu gerakan perjuangan anti-kolonialisme. Menurut Pram, Inggris membentuk negara Federasi Malaysia disebabkan ketidaksiapan mereka untuk kehilangan sumber uang dari Malaya (nama lama dari Malaysia), Singapura, dan Kalimantan Utara (Brunei). Malaya merupakan penghasil timah, karet, dan minyak kelapa sawit. Sedangkan Brunei merupakan tambang minyak dan Singapura merupakan pelabuhan transit yang bisa dijadikan pusat kendali kekuasaan maupun ekonomi.

Pemimpin Malaysia, Tunku Abdul Rahman Putra (Perdana Menteri Malaysia pertama) kemudian menyatakan bahwa apapun ceritanya Malaysia akan tetap berdiri pada 16 September 1963. Soekarno tidak tinggal diam,  “Tanggal 16 September 1963, Indonesia dan Filipina secara bersama mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengakui Federasi Malaysia secara diplomatik," tulis Willem Oltman dalam buku Bung Karno Sahabatku (2001).

Pemuda Malaysia kemudian menyerang gedung Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur. Pada tanggal 17 September 1963, pemerintah Malaysia memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia. Di Indonesia, pada 18 September 1963, pemuda Indonesia juga menyerang kedutaan Malaysia dan Inggris. Pihak Inggris sendiri memperpanas masalah dengan memprovokasi massa menggunakan konser alat musik tradisional. Massa kemudian mendobrak pagar dan merusak mobil-mobil dinas Inggris.

Sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika Konflik PD 1953-1963 menulis alasan lain yang membuat Soekarno menolak pendirian Malaysia. Dia merasa Inggris maupun Malaya telah melangkahi Indonesia dalam proses pendirian Malaysia. Pernyataan senada disampaikan oleh sejarawan Asvi Warman Adam. Kepada Historia, ia berkata, "Saya tidak melihat ada persoalan kolonialisme (terkait konfrontasi dengan Malaysia, red.). Ada ketersinggungan Soekarno pada Tun Abdul Rahman...”.

Soekarno juga menulis surat pada Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy bahwa ia menolak Federasi Malaysia karena meragukan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh tim Misi Michelmore, jurnalis Inggris yang ditugaskan PBB untuk ke Serawak dan Sabah. Soekarno bahkan mengutip laporan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa U Thant yang mengatakan bahwa tim jajak pendapat kekurangan personil. “Soekarno mengharapkan John F. Kennedy untuk menjadi penengah dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Jadi ia meminta suatu jalan keluar yang tidak menyebabkan satu pihak kehilangan muka,” kata Asvi.

Perang di Kalimantan Utara

Para Sukarelawan Dwikora di Perbatasan
sumber: istimewa


Di Kalimantan Utara, perang tertutup pecah. Pasukan Dwikora yang merupakan sukarelawan dikirim ke garis depan. Pihak Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sendiri ragu untuk menentukan sikap.


“Sudah sejak awal Angkatan Darat tidak sungguh-sungguh mendukung kebijaksanaan konfrontasi terhadap Malaysia," tulis Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008). Kala itu, Angkatan Darat dipimpin Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani. Tak hanya Yani, Menteri Pertahanan Abdul Haris Nasution juga tak menyukai kampanye ini.

Yani sebenarnya masih mau membantu sedikit. Berbeda dengan Nasution yang sama sekali menolak. Malahan sang jenderal terbuka untuk mengusulkan jalan damai dengan Malaysia (Franklin B. Weinstein, Indonesia Abandons Confrontation: An Inquiry Into the Functions of Indonesian Foreign Policy, hal 55).

Pihak militer juga merasa keberatan jika harus melawan tentara yang dibackup oleh tentara Inggris dan Australia seperti Special Air Service maupun Gurkha. Militer juga menganalisis kalau ini terus berlanjut, yang paling diuntungkan adalah pihak Partai Komunis Indonesia. Hal ini dikarenakan Menguatnya poros Jakarta-Peking yang ikut mewarnai bulan-bulan menjelang 1965, bagi Angkatan Darat, ini adalah ancaman serius. Gagasan Angkatan Kelima, yang salah satunya disosialisasikan untuk mengobarkan perlawanan terhadap Nekolim (neo-kolonialisme dan imperisalisme), dicemaskan akan membuat PKI (dan pengaruh Peking) semakin kuat.

Pihak Malaysia sendiri tetap ketakutan meskipun mendapatkan bantuan Inggris. Hal ini dituliskan oleh Oltman. Oltman pernah mengunjungi bekas Menteri Penerangan Malaysia, Senu Bin Abdul Rahman. Oltman menyebut: “Dengan sangat mengejutkan, dia mengatakan kepada saya bahwa pemerintah Malaysia benar-benar takut."

Gejolak perlahan mengendur dengan runtuhnya Orde Lama usai G30S/PKI. Pada 28 Mei 1966, Indonesia dan Malaysia secara resmi menyelesaikan gejolak.

Mulai dari Pulau, Budaya, hingga Masalah TKI

Beberapa Budaya yang Sempat Panas karena Diklaim Malaysia


Masih segar di ingatan saat dua pulau terluar Indonesia, Sipadan dan Ligitan diklaim juga oleh Malaysia. Setelah lelah saling mengancam, kedua negara pun menyerahkan kasusnya kepada Mahkamah Internasional. Sayangnya, Indonesia kalah dan pulau itu jatuh ke tangan Malaysia.

Sejak saat itu, masalah klaim wilayah adalah topik sensitif di antara kedua negara. Tahun 2005 misalnya, ketegangan menghampiri di sekitar Blok Ambalat. Kampanye anti-Malaysia kembali mencuat di tahun 2007, kala lagu Rasa Sayange asal kepulauan Maluku muncul di iklan pariwisata Malaysia. Ada lagi soal batik dan tari tortor yang juga sempat heboh beritanya.

Menteri Pariwisata Indonesia pada tahun 2007, Jero Wacik sempat ikut berkomentar soal ini. 'Malaysia berulah lagi' begitu ungkapnya saat itu. Ia juga menghimbau agat rakyat Indonesia tidak berlibur ke Malaysia.

Masalah TKI juga merupakan topik hangat di antara hubungan kedua negara. Mulai dari hukuman gantung TKI hingga penyiksaan oleh majikan. Banyaknya imigran gelap asal Indonesia juga sering ditanggapi sinis oleh Malaysia.

Persaingan Panas di Bidang Olahraga

Supporter Indonesia Menghina Malaysia


Di Asia Tenggara, dapat dikatakan Malaysia adalah salah satu rival berat Indonesia dalam setiap kejuaraan olahraga, terutama SEA Games dan Piala AFF. Terakhir Indonesia panas ketika Malaysia mencetak bendera Indonesia terbalik pada 2017 lalu.

Di kualifikasi Piala Dunia 2022 yang berakhir dengan kekalahan Indonesia, supporter tanah air sempat mengamuk dan melempari tribun Malaysia dengan botol minuman. Sialnya, disana terdapat Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia, Syed Saddiq bin Syed Abdul Rahman. Mereka terpaksa harus dievakuasi ke ruang ganti.

Sikap kampungan itu memicu kecaman dari Federasi Sepakbola Malaysia (FAM). Mereka mengancam akan mengadukan Indonesia ke FIFA. Per 7 September 2019, berkas pengaduan itu sudah diteruskan oleh Konfederasi Sepakbola Asia (AFC) ke Federasi Sepakbola Internasional tersebut. Tinggal menunggu waktu, Indonesia akan kembali didenda atas dakwaan tidak becus menjadi tuan rumah.

Konflik sepakbola Indonesia dan Malaysia bukan perkara yang pendek. Pada final Piala AFF 2010 di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur misalnya, kiper Indonesia Markus Harrison terus menerus disoroti sinar laser oleh suporter lawan. Laga yang berakhir dengan kekalahan Indonesia 3-0 itu kemudian terbongkar merupakan laga setingan. Hal ini disampaikan di Mata Najwa pada 19 Desember 2018. Pihak Kepolisian Republik Indonesia sendiri sudah berkomitmen akan membongkar habis para mafia yang terlibat dalam kasus ini.
Skuad Legendaris Hindia Belanda

Indonesia sendiri dalam beberapa hal kalah dari Malaysia. Indonesia baru dua kali meraih emas di SEA Games cabor sepakbola sedangkan Malaysia sudah enam kali. Malaysia sudah pernah mengadakan Piala Dunia Junior pada tahun 1997 sedangkan Indonesia masih bersaing untuk memperebutkan perhelatan tahun 2021. Saingan Indonesia adalah negara-negara seperti Peru, Brasil, UEA, Arab Saudi, dan Bahrain. Tiga nama terakhir adalah negara dengan dana yang hampir tak terbatas.


Meski begitu, Indonesia masih unggul head-to-head dari Malaysia dan Indonesia sudah pernah menembus babak utama Piala Dunia 1938 di Perancis. Kala itu Indonesia yang masih bernama Hindia Belanda dibantai 0-6 oleh Hungaria. Daripada tidak?

Penutup

Apakah kamu bosan dengan persaingan Indonesia-Malaysia yang seolah tak pernah berakhir ini? Saya sendiri bingung mau jawab apa. Adios.


Referensi:
Tirto.id, historia.id, tribun, panditfootball.com, kumparan.com, detik.com
Buku-buku sejarah sekolah




Comments