Love for Sale, Film Kurang Ajar yang Relevan Dengan Kehidupan
Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar
Judul
|
: Love for Sale
|
Sutradara
|
: Andibachtiar Yusuf
|
Penulis Skenario
|
: Andibachtiar
Yusuf
|
Genre
|
: Drama
|
Pemain
|
: Gading Marten, Della Dartyan, Verdi
Solaiman, Adriano Qalbi, Albert Halim, Rukman Rosadi, Sabrina Rochelle, Vanda
Mutiara
|
Rilis
|
: 15 Maret 2018
|
Durasi
|
: 100 Menit
|
Banyak orang mungkin skeptis dengan duo pemeran utama film garapan Andibachtiar Yusuf ini. Bagaimana tidak, Gading Marten adalah seorang aktor ftv yang biasanya hanya tampil alakadarnya. Sedangkan Della Dartyan merupakan aktris debutan.
Semua keraguan itu terbukti hanya sekadar keraguan ketika film ini muncul dan membuktikan bahwa mereka bisa dan layak diberi kepercayaan. Layaknya ketika debutan lain Putri Marino berhasil menggemparkan Piala Citra 2017, duo ini pun juga berhasil menggemparkan dunia perfilman tanah air.
Chemistry antara dua tokoh utamanya adalah hal terbaik di film ini. Interaksi keduanya nempak nyata dan seperti bukan sekadar akting. Tidak main-main, penampilan mereka berdua memang layak diganjar pengakuan sekelas Piala Citra. Gading sukses mendapatkannya sedangkan Della tidak.
Love For Sale bercerita tentang Richard (Gading Marten), seorang pengusaha usia 41 yang belum menikah. Trauma masa lalu, kemarahan atas masa lalu atau apalah itu yang membuat ia tidak berani lagi mendekati wanita sejak lulus SMA. Kesehariannya, ia mengelola bisnis percetakannya dibantu oleh pegawainya pak Syamsul (Rukman Rosadi), Raka (Albert Halim), Jaka (Adriano Qalbi), Mira (Sabrina Rochelle), dan Danty (Vanda Mutiara).
Di akhir pekan, ia biasanya pergi menonton sepakbola bersama teman-temannya. Pada suatu malam, seorang temannya mengundangnya ke pesta perkawinan. Undangan itu juga diiringi dengan tantangan. Tantangannya adalah ia harus membawa pasangan ke pesta tersebut. Jika tidak, ia akan kehilangan harga dirinya dan dicap perjaka tak laku seumur hidupnya.
Awalnya, ia meminta bantuan sahabatnya sejak kecil, Panji (Verdi Solaiman) yang kerapkali memberikan ceramah-ceramah ringan. Hingga suatu hari, ia menemukan brosur suatu biro jodoh, Love Inc. Lewat situlah ia kemudian bertemu dengan Arini (Della Dartyan). Mereka pun 'jatuh cinta' dan menjalani kehidupan yang bahagia dalam beberapa saat hingga sesuatu hal membuyarkan kisah mereka.
Seperti disebutkan sebelumnya, kekuatan utama Love for Sale adalah pada ikatan yang kuat antara dua tokoh utamanya. Tetapi, film ini juga punya kekuatan lain yang tidak kalah penting. Film ini mempunyai sinematografi kelas unggul yang layak disandingkan dengan film-film lain. Detail demi detail gambar yang dihasilkan mampu menyihir mata para penontonnya.
Bukan hanya gambar, musik di film ini juga mampu menggambarkan situasi film ini dengan tepat dan akurat. Uniknya, lagu yang ditampilkan di film ini hanyalah satu yaitu lagu Hidupku Sunyi karya Charles Hutagalung yang diaransemen sesuai dengan situasi cerita.
Selain itu, tata artistik, tata busana, dan tata teknis lain yang terdapat di film ini juga terlihat sudah dipertimbangkan dengan sedemikian rupa oleh tim produksinya. Sebuah pertimbangan kreatif yang patut diacungi jempol.
Menyorot Masalah Manusia yang Mendasar
Love For Sale secara garis besar menceritakan dua hal. Dua hal ini sama-sama sering menjadi masalah yang sering orang-orang hadapi sehari-hari. Hal itulah yang membuat kedua film ini terasa relevan dengan para penonton.
Hal pertama adalah tekanan kehidupan. Richard dan pegawainya menunjukkan kalau tekanan kehidupan itu memang benar adanya dan dapat dialami oleh siapapun. Tekanan itu dapat berupa tuntutan pekerjaan, tuntutan teman, hingga tuntutan orang tua. Love for Sale memperlihatkan tekanan tersebut secara akurat dan tanpa terasa terlalu didramatisir.
Hal kedua adalah tentang opini umum mengenai seseorang yang belum menikah. Seringkali, orang lain terus menerus menekan suatu pihak bahkan hingga taraf mengganggu dengan pertanyaan "kapan nikah?" Pertanyaan ini pada dasarnya tidak layak untuk diberikan kepada siapapun karena Seseorang bebas untuk memilih kapan ia menilah. Kalaupun ia memilih untuk tidak menikah, siapapun tidak punya hak untuk mencampuri keputusannya. Masalahnya, banyak orang-orang yang merasa bahwa pernikahan adalah sesuatu yang harus dijalani oleh seluruh manusia. Pemikiran seperti ini sebenarnya mempunyai bobot apabila penganutnya dapat menghormati peikiran lain. Sayangnya, seringkali pemikiran ini kehilangan bobotnya karena beberapa pemikiran dangkal yang mengiringinya.
Film yang Mengeluarkan Para Sineasnya dari Zona Nyaman
Pernah mendengar istilah zona nyaman? Mungkin ada yang pernah mendengarnya dari lagu karya Four Twnty yang naik daun karena menjadi pengisi film Filosofi Kopi 2 beberapa tahun yang lalu. Di lagu itu, Four Twnty mengajak pendengarnya untuk keluar dari zona nyaman. Mereka juga mengajak pendengarnya untuk bekerja dengan hatinya dan sesuai dengan apa yang diinginkan. 'Kita ini insan bukan seekor sapi' tulis mereka dalam syair lagunya.
Zona nyaman bukanlah sekadar masalah suka-tidak suka atau nyaman-tidak nyaman. Zona nyaman merupakan sebuah masalah psikologi dasar manusia. Menurut pakar Behavioural Psychology Alasdair A. K. White dalam bukunya From Comfort Zone to Performance Management, zona nyaman adalah sebuah keadaan dimana seseorang merasa terbiasa dan nyaman karena mampu mengontrol lingkungannya. Dalam keadaan ini, orang tersebut jarang merasa gelisah dan jarang mengalami tekanan yang mengakibatkan stress.
Meski terlihat indah dan enak untuk dijalani, zona Nyaman adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, zona nyaman menawarkan kenyamanan tiada tara. Sedangkan disisi lain, zona nyaman juga menawarkan lubang dalam yang bisa membuat terjungkal. Zona nyaman dapat membuntukan kreativitas dan menjadi racun penghambat perkembangan seseorang.
Ketika seseorang keluar dari zona nyamannya, banyak hal-hal berat yang akan dialami. Hal itu bisa berbentuk materi ataupun non-materi. Keluar dari zona nyaman juga bisa menjadikan hari-hari semakin sulit untuk dilalui karena tantangan yang semakin berat.
Oleh karena itu, ketika seseorang berani keluar dari zona nyamannya, orang-orang perlu memberikan apresiasi. Sebab ia sudah berani mendobrak batasnya dan berani melawan kemalasannya untuk berbuat lebih. Meskipun paham akan risiko kegagalannya, ia tidak mundur dan menyerah demi menggali potensinya lebih dalam lagi.
Lewat film ini sendiri, sederet sineasnya berhasil keluar dari zona nyaman mereka. Gading Marten misalnya, ia berhasil keluar dari peran playboy dan sejenisnya yang biasa ia mainkan baik di ftv maupun film layar lebar. Begitu juga dengan Andibachtiar Yusuf yangvakhirnya keluar dari zona nyamannya dengan membuat film yang tidak bertema sepakbola. Meskipun masih menyinggung sedikit, secara umum ceritanya benar-benar berbeda dari film-film sutradara Romeo Juliet ini.
Kompas sendiri memuji Gading Marten yang berhasil keluar dari zona nyamannya. Kompas menulis "Setelah 1 dekade & 12 film layar lebar, Gading Marten akhirmya keluar dari zona nyamannya." Pencapaian istimewa itu semakin sempurna bagi Gading karena piala citra yang diterimanya.
Penutup
Love for Sale adalah film yang membawa para sineasnya untuk keluar dari zona nyaman mereka. Bermodalkan ikatan yang kuat antara dua pemain utamanya, film ini berhasil menjadi salah satu pembicaraan utama di kalangan pecinta film tanah air sejak tahun kemarin hingga kini. Selain itu, film ini juga menyajikan sisi teknis yang rapi dan layak dipuji.
Note: menjelang film keduanya yang akan tayang 31 Oktober nanti, film ini layak untuk ditonton ulang. Jika belum menonton, silakan tonton karena film ini sendiri sudah tersedia di Netflix. Adios
#30DWCDay13
#Squad5




Comments
Post a Comment