Pretty Boys, Bukan Sekadar Film Tentang Banci

Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar





Judul
: Pretty Boys
Sutradara
: Tompi
Penulis Skenario
: Imam Darto
Genre
: Drama, Comedy
Pemain
: Desta Mahendra, Vincent Rompies, Danilla Riyadi, Roy Martin, Onadio Leonardo, Imam Darto
Rilis
: September 2019
Durasi
: 100 Menit

 Jika ditanya, apa film komedi terbaik tahun ini. Dengan lantang saya akan menjawab film ini adalah jawabannya. Film ini mampu hadir sebagai film komedi yang benar-benar membuat penonton ngakak gak berhenti-berhenti. Seriusan.

Naskah yang Kuat dengan Sejumlah Kritik Sosial



Cerita ini berkisah tentang Anugrah (Vincent) dan Rahmat (Desta) yang bercita-cita menjadi MC terkenal di tv. Tetapi, sayang takdir tidak berpihak kepada mereka. Ketika pindah dari kampung ke ibukota, alih-alih langsung mendapatkan pekerjaan yang layak, mereka harus bekerja di sebuah kafe yang bosnya sangat galak. Di kafe inilah mereka kemudian bertemu dengan Asty (Danilla Riyadi), perempuan cantik yang mereka sama-sama suka.

Selain bekerja di kafe, mereka juga mencari pekerjaan di luar. Pekerjaan apapun mereka jalani asalkan itu dapat menghidupi mereka di tengah kerasnya arus kehidupan di ibukota. Tapi, ketidakberuntungan pun ada akhirnya bagi mereka yang berusaha. Pada suatu hari, mereka mendapatkan kesempatan untuk mewujudlan mimpi masa kecil mereka. Tetapi, kesuksesan itu harus dibayar dengan 'harga diri' mereka. Mereka harus rela tampil seperti transgender (bencong red). Popularitas mereka kemudian meningkat tajam setelah itu. Hingga masalah baru muncul lagi di tengah badai kesuksesan.

Film ini disokong dengan naskah yang kuat dan penuh dengan pesan yang menampar. Menyinggung beberapa hal yang sensitif untuk dibahas, terutama di era sekarang. Isu itu termasuk mengkritisi kedok beberapa pihak yang membela kejadian pelanggaran HAM di tahun 1998.

Dari sisi akting, dua aktor utama, benar-benar menunjukkan bahwa mereka adalah pasangan paling serasi di dunia hiburan Indonesia saat ini. Didukung oleh Danilla yang ehm manis banget. Aktingnya solid dan sekali lagi manis. Roy Martin tampil mencuri perhatian di beberapa adegan. Permainan mimiknya benar-benar mahal. Onadio Leonardo juga tampil sangat baik sebagai seseorang yang 'ngondek cyiin'. Pemain lainnya seperti Darto juga dapat memainkan perannya dengan lumayan. Tidak mencuri perhatian, tetapi mampu menampakkan pesan utama dari film ini. Sekilas penampilan Najwa Sihab di film ini seperti memberi pesan: 'Youtube gak lebih dari TV. Penonton TV akan selalu ada yeah'.

Film ini berhasil mengumpulkan para komedian-komedian terbaik kita yang tidak lebay. Aspek drama film ini entah kenapa meskipun sangat biasa dalam pakem film Indonesia terasa agak istimewa sedikit. Entah kenapa. Oh saya ingat. Mau tau?Tonton aja.

Segi artistik film ini menampakkan keseriusan yang besar dalam penggarapannya. Mulai dari kostum, dandanan, dan set semuanya rapi. Film ini menunjukkan keseriusan Tompi dalam membuat film. Hal ini juga menunjukkan kalau ia adalah orang yang sangat teliti. Hal itu gak usah dipertanyakan lagi sih sebenarnya, secara dia kan dokter.

Bagian yang paling kusuka dari film ini adalah musiknya. Lagu-lagu yang dipilih di film ini semuanya oke-oke. Bagaimana tidak, secara ini tuh mempertaruhkan reputasi musisi sekelas Tompi. Akhir-akhir ini bisa dibilang film-film Indonesia sangat bagus dalam memilihkan nomor-nomor lagu. Mungkin agar penjualan CD soundtracknya lancar juga kali ya.

Kritik Tentang Pertelevisian, Maskulinitas Beracun, dan Tragedi 1998



Film ini memang film komedi. Tapi, film ini bukanlah film komedi murahan yang cuma modal haha-hihi tak bermutu. Atau film komedi yang menjual tema nostalgia sebuah legenda untuk mendongkrak penjualan tiketnya. Film ini memberikan standar baru bagi film komedi di Indonesia. Penulis sendiri sudah menyaksikan beberapa film komedi lokal tahun ini. Seperti sudah disebutkan di atas, film ini (sejauh ini) adalah yang terbaik. Untuk sutradara Ernest, udah ada saingan, nih.

Ada tiga isu yang dibahas di sini, yaitu: pertelevisian, transgender, dan isu 1998.

Fokus utama film ini sebenarnya adalah tentang pertelevisian tanah air. Seperti disampaikan oleh penulis naskah Darto pada konferensi pers film Pretty Boys di Yogyakarta, Jumat (20/9/2019.

“Ada yang menyangka kami akan mengangkat isu transgender, sebenarnya bukan itu yang kami mau tonjolkan. Kami ingin mengangkat bagaimana di balik televisi, karena memang ekosistemnya seperti itu, di belakang layar begitu, dari koordinator penonton, kemudian ke artis, lalu nular ke artisnya, ya memang begitu," ujar Darto dilansir tirto.id.

Seperti disampaikan Darto diatas, mereka sebenarnya tidak berniat untuk menyinggung isu transgender. Tetapi, seperti diulas oleh tirto.id, film ini mau tidak mau menampakkan isu transgender dengan tidak sensitif. Mereka seolah menampakkannya sebagai sesuatu yang merupakan hal yang mutlak salah. Gaya stereotip yang sering ditampilkan juga dalam gaya-gaya komedi rasis lain.

Aulia Adam, sang pengulas menulis: "Semua karakter pria kemayu yang hadir juga digambarkan negatif: Ferry Maryadi digambarkan mata uang dan ganjen; Roni digambarkan tamak, penipu, dan tukang foya-foya; Mas Bay (Imam Darto), produser acara Kembang Gula digambarkan egois dan cuma mementingkan rating acaranya."

Lebih lanjut, ia mengulas bahwa riset yang dilakukan oleh penulis skenario tidak relevan dengan keadaan industri pertelevisian saat ini. Hal ini berdasarkan dengan larangan Komisi Penyiaran Indonesia. Sejak 2016, KPI sudah melarang adanya promosi LGBT di layar kaca. Jadi, hal yang dinampakkan di film ini selain tidak sensitif juga tidak sesuai konteks 'sekarang'.

Ia juga ada memaparkan tentang maskulinitas beracun yang dinampakkan di film ini. Sekadar informasi, maskulinitas beracun adalah keadaan dimana seseorang menganggap bahwa lelaki adalah jenis kelamin yang paling di atas yang lain. Menurut laporan, hal ini dapat berujung pada kekerasan bahkan pembunuhan. Violence Policy Center bahkan punya data tentang ini.

Saya sendiri berpendapat jika film ini malah membuat saya semakin respek dengan mereka (transgender red). Dalam satu adegan dimana Tora Sudiro, yang merupakan seorang transprostitute, datang sebagai seorang yang memberikan nasihat kepada Anugerah. Ia tampil sebagai sahabat yang setia dan mau menolong orang yang masih asing baginya. Meskipun minor, tapi pesan dari adegan ini masuk maknanya kepada saya.

Diluar perbedaan pendapat atas isu ini, film ini masih mampu untuk menyampaikan pesan utamanya. Bukan hanya mampu, tetapi begitu solid dan gamblang. Meskipun menurut Vincent ini bukanlah kritik, hanya pemaparan. Setidaknya begitulah yang disampaikannya pada Jawapos, di Surabaya, Sabtu (21/9).

Ada satu isu lagi yang tidak terlalu mendapat porsi, yaitu isu 1998. Isu ini terlihat dari pembicaraan Anugerah dan ayahnya yang merupakan mantan tentara. Dalam satu adegan Anugerah berkata, "Tahun '98 itu bukan perjuangan, Pak. Itu penculikan." Well, that's a little too clear. Good point, Doc.

Penutup


Film ini merupakan film komedi yang cerdas dalam menarik atensi dan tawa penonton. Film yang mampu memberikan kritikan kepada beberapa isu yang sering dibahas di forum-forum. Beberapa cara narasinya mengundang kontroversi, tetapi namanya juga isu.

Film ini merupakan satu dari tiga film Indonesia yang paling saya sukai di tahun 2019. Dua lagi adalah 27 Steps of May dan Bebas. Ketiganya mempunyai isu masing-masing dan kekuatan masing-masing.

Musik-musik yang mantap poll juga turut memberikan nilai plus. Kumpulan lagu-lagu indie yang cocok di telinga.

Bonus: Danilla dan single khusus untuk film ini, Kembali Pulih Lagi.

NB: terakhir cek, jumlah penontonnya 621.437. Ayo dong, buat satu juta cyiin.

Comments