Sin, Film Penyayat Hati Yang Tidak Terlalu Liar

Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar






Judul
: Sin
Sutradara
: Herwin Novianto
Penulis Skenario
: Johanna Watimenna
Genre
: Drama, Romance
Pemain
: Mawar De Jongh, Bryan Domani, Jerome Kurnia, Dannia Salsabilla, Carmela van der Cruk, Nadine Alexandra
Rilis
: Oktober 2019
Durasi
: 100 Menit

"Kamu adalah kehadiran yang tidak terduga, tidak diharapkan namun terasa benar." - Meta

Pertama-tama, saya menonton film ini setelah menonton film pendek dengan tema serupa karya Hanung Bramantyo. Meskipun film itu dibuat sebagai pemananasan dan promosi film terbaru karya Falcon ini tetapi saya merasa film itu lebih dari sekadar media promosi. Itu bahkan adalah karya terbaik Hanung tahun ini. Lebih bagus dibandingkan film panjang Hanung tahun ini yang berbujet puluhan miliar Rupiah, Bumi Manusia.

Falcon memang membuat promosi gila-gilaan untuk film terbarunya ini. Selain ada tiga film pendek karya sutradara terkenal: Rako Prijanto Fajar Bustomi, dan Hanung Bramantyo, kemudian versi parodi oleh Faja Meonk mereka juga membuat festival film pendek yang hasilnya rata-rata bagus, terutama delapan besarnya. Apalagi juaranya. Mantap abis.

Promosi gila-gilaan Falcon ini turut meningkatkan antusias saya dalam menonton film ini. Walaupun usai menonton karya Hanung sulit untuk berekspektasi versi panjangnya akan lebih bagus. Jadi, saya mencoba untuk main aman dan hanya akan menikmati filmnya serta bersikap objektif.

Kisah Cinta yang Tabu? Benarkah?




Film ini bercerita tentang Ametta Rinjani (Mawar de Jongh) seorang gadis cantik yang hidup berkecukupan tetapi dalam kesepian. Ia tinggal sendirian di sebuah apartemen mewah di kawasan Menteng. Setiap hari ia diawasi oleh seseorang yang ditugaskan oleh 'orang tua angkatnya'. Kesepian inilah yang membuatnya berbuat hal-hal aneh (nakal red) untuk menarik perhatian orang tua angkatnya.

Kesehariannya, ia sering memacari banyak laki-laki hanya untuk mematahkan hati mereka. Entah untuk apa, kepada kedua sahabatnya Lala (Carmela van der Cruk) dan Stephanie (Dannia Salsabilla) ia hanya mengaku bahwa ia ingin membuktikan teorinya kalau semua laki-laki itu sama saja. Semuanya berotak kotor dan hanya menginginkan badannya. Ia baru akan berhenti jikalau ada seseorang yang sanggup mematahkan teorinya.

Takdir pun mempermainkan. Ia bertemu dengan Raga (Bryan Domani) usai sebuah insiden senggolan di koridor sekolah. Raga dengan santainya tidak mengacuhkan Metta yang terjatuh. Peristiwa itu benar-benar menyinggung harga dirinya. Teorinya patah. Tidak semua lelaki peduli dengan badannya. Kisah pun beralih dimana ia penasaran dengan lelaki tersebut dan akhirnya terjebak dengan perasaannya sendiri. Perasaan yang semakin kompleks setelah pengungkapan besar. Membuat kisah mereka tabu.

Ada pendapat di luar sana yang mengatakan bahwa film ini tidak perlu ditonton. Cukup dengan melihat posternya saja kita akan paham dengan ceritanya. Atau seluruh plot cerita sudah dinampakkan di trailernya. Tetapi, ada sebuah twist di ujung cerita yang membalikkan semua promosi yang dilakukan oleh Falcon.

Menurut saya sendiri, meskipun cerita film ini dapat ditebak, yang membuat film ini sangat layak untuk ditonton adalah performa pemainnya. Dua pemain utama, Mawar de Jongh dan Bryan Domani dapat memainkan perannya dengan meyakinkan. Dimulai dari Bryan, ia beberapa kali dapat menemukan sinarnya. Mengingat ini adalah peran pertamanya di layar lebar (sebagai tokoh utama), dia melakukan debut yang impresif. Selamat.

Sanjungan khusus saya berikan pada Mawar de Jongh. Sejak di Bumi Manusia, Mawar sudah membuat saya terpukau. Coba bandingkan Mawar yang menjadi noni-noni anggun di Bumi Manusia dengan nona badass di Sin. Transformasinya benar-benar keren. Luar biasa! Hal ini semakin menguatkan pendapat saya bahwa Mawar akan semakin meningkat apabila ia berhasil mengambil peran yang tepat.

Selain dari ranah akting, saya juga memuji aspek sinematografi film ini. Film ini memiliki keistimewaan sendiri dalam menunjukkan adegan demi adegan di filmnya. Memang kalau soal sinematografi, Falcon sudah tidak diragukan lagi. Sudah ahli mereka.

Begitu pun dengat latar dan setting, Falcon dapat menunjukkan betapa glamornya kehidupan para tokoh disini. Setting disini jujur labih bagus dibandingkan di Bumi Manusia. Lebih natural saja. Meskipun saya masih kurang suka dengan pencahayaan di adegan dengan cahaya neon, seperti bar yang masih terlalu silau dan menyakitkan mata.

Lagi-lagi, akhir-akhir ini, para sutradara sangat jeli dalam memilih aspek asupan soundtracknya. Nomor-nomor lagu di film ini semuanya benar-benar dapat menyampailan pesan-pesan filmnya. Meskipun bukan yang terbaik di tahun ini, ini tetap saja sangat bagus.

Mengenal Hubungan Inses

Inses di Dunia Fiksi


Kisah ini mengangkat sebuah istilah seksual yang dianggap menyimpang, inses. Inses adalah keadaan dimana seseorang tertarik dengan saudaranya sendiri atau yang memiliki hubungan darah dengannya.

Di dalam kehidupan, seringkali pelarangan inses didasari oleh budaya, agama, bahkan dasar ilmu pengetahuan atau sains.

Di aspek budaya, menikahi saudara sendiri memang dianggap melanggar norma-norma. Meskipun dalam beberapa kebudayaan, ada juga yang menoleransinya. Contohnya: Dinasti Ptolemy asal mesir yang menikahi saudara sendiri untuk menjaga kemurnian garis keturunan 'dewanya'.

Jika pernikahan antar saudara kandung lebih banyak yang melarangnya, berbeda pula dengan menikahi sepupu yang lebih longgar aturannya. Budaya Batak misalnya. Perkawinan terbaik adalah antar pariban (anak perempuan dari seorang laki-laki dengan anak laki-laki dari saudarinya).

Dari aspek agama, ada aturan ketat soal pernikahan sedarah ini. Dalam Islam dikenal istilah mahram yaitu daftar orang-orang yang terlarang untuk dinikahi oleh seorang muslim. Begitupun dalam Kristen ada larangan tersendiri juga yang diatur dalam kitab sucinya.

Hukum Indonesia sendiri sangat ketat soal ini. Seorang anak yang dilahirkan dari perkawinan sedarah dapat diputuskan menjadi anak tidak sah dengan berbagai persyaratan yang diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia.

Dari ranah sains, ada beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa pernikahan sedarah dapat melahirkan anak yang cacat, baik secara fisik maupun psikologi atau mental.

Film ini sebenarnya belum seliar A Song of Ice and Firenya George R.R. Martin dalam berimajinasi soal hubungan inses ini. Mengingat segmen penonton utamanya juga adalah remaja, wajar saja tidak ada pembahasan sedalam itu. Akhir cerita justru semakin memperlihatkan kalau penulis novel sebagai sumber aslinya sebenarnya ragu dengan tema yang diambil. Ia masih ditimpa keyakinan kalau hubungan inses memang tabu.

Penutup


Film ini adalah salah satu film yang mengambil premis yang sebenarnya tidak terlalu liar, karena di luar sana sudah banyak yang mengambil tema yang sama di ranah fiksi. Film ini tidak terlalu liar juga dikarenakan akhir ceritanya yang terpelintir. Film ini tidak istimewa sebagai sebuah cerita utuh. Film ini justru bagus karena performa aktor-aktrisnya yang prima dan aspek teknisnya yang lumayan memanjakan mata dan telinga.

#30DWCDay2
#Squad5

Comments