Susi Susanti Love All, Biopik Pembangkit Nasionalisme yang Berbau Politik
Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar
Judul
|
: Susi Susanti Love All
|
Sutradara
|
: Sim F
|
Penulis Skenario
|
: Syarika
Bralini, Raymond Lee, Sinar Ayu Massie, Raditya, Daud Sumolang
|
Genre
|
: Drama, Biografi
|
Pemain
|
: Laura Basuki, Dion Wiyoko, Lukman Sardi, Jenny Zhang, Chew Kin Wah, Moira Tabina
Zayn, Kelly Tandiono, Iszur Muchtar, Dayu Wijanto, Delon, Rafael Tan.
|
Rilis
|
: 24 Oktober 2019
|
Durasi
|
: 96 Menit
|
"Keberanian bukanlah tanda absennya ketakutan, tetapi agar tahu dengan siapa kita berhadapan" - Ayah Susi.
Siapa yang tidak kenal Susi Susanti. Seorang legenda bulutangkis tanah air. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa pernah bermimpi untuk menjadi seperti Susi. Membentangkan bendera merah putih di ajang internasional. Susi melakukannya dan akan selalu dikenang.
Hampir tiga dekade usai Susi membanggakan tanah air. Barcelona, Katalunya, Spanyol adalah tempat dimana Susi mempersembahkan medali emas olimpiade pertama bagi Indonesia. Hingga kini, medali emas itu tetap terasa istimewa. Hal ini adalah buntut dari minimnya medali yang diraih di ajang olahraga paling bergengsi ini.
Untuk mengenang masa emas itulah dibuat film tentang Susi Susanti. Bertajuk Susi Susanti Love All, film ini disutradarai oleh Sim F yang merupakan sutradsra video klip tersohor tanag air dan ditulis oleh Syarika Bralini, Raymond Lee, Sinar Ayu Massie, Raditya, dan Daud Sumolang. Film ini turut dibintangi oleh sederet aktor-aktris papan atas tanah air seperti Laura Basuki, Dion Wiyoko, Lukman Sardi, Jenny Zhang, Chew Kin Wah, Moira Tabina Zayn, Kelly Tandiono, dan Rafael Tan.
Susi Susanti Love All memulai kisahnya di Tasikmalaya pada tahun 1983. Tepatnya pada momen perayaan kemerdekaan Indonesia. Susi Susanti muda (Moira Tabina Zain) kabur dari lomba tarinya untuk kemudian mempermalukan juara bulutangkis Tasikmalaya. Aksi hebatnya itu ternyata berhasil memukau PB Jaya Raya yang langsung menawarinya trial. PB Jaya Raya sendiri adalah klub legenda bulutangkis Indonesia, Rudi Hartono yang memang dikagumi oleh Susi.
Meski pada awalnya jenuh dengan rutinitas disiplin pelatihan, Susi kemudian berhasil beradaptasi dan menjadi juara dunia tingkat junior. Bakat besarnya kemudian berhasil memukau dunia usai ia menyelamatkan wajah Indonesia di gelaran pertama Piala Sudirman tahun 1989. Di babak final, Indonesia yang sudah tertinggal dua angka dari Korea Selatan harus menyerahkan nasibnya kepada 'anak kemaren sore'.
Susi Susanti (Laura Basuki) kalah di set pertama dan tertinggal jauh di set kedua. Di momen-momen genting, ia kemudian diingatkan oleh pelatihnya dengan kemenangan Rudi pada All England 1974. Secara instan, ingatan itu langsung memberikan semangat baru bagi Susi. Ia berhasil membalik keadaan dan membawa Indonesia menjuarai Piala Sudirman. Hingga 2019, Indonesia belum pernah mengulang catatan manis ini.
Secara umum, film ini mampu memberikan gambaran perjuangan Susi Susanti. Perjalanannya sejak belum menjadi apa-apa hingga menjadi pahlawan bulutangkis Indonesia. Terutama pada enam puluh menit pertama. Setelahnya, kisah mulai tidak fokus dengan pembagian kisah cinta Susi-Alan yang semakin mendominasi dan unsur politik yang semakin kental. Di 20 menit terakhir, film ini sudah kehilangan fokusnya sebagai film biopik. Buntutnya, akhir film terasa seperti dibuat buru-buru.
Unsur politik yang dibahas sebenarnya cukup penting karena relevansinya dengan masa kini. Masalahnya, unsur politik itu seolah memberi kesan bahwa kisah hidup Susi kurang menginspirasi sehingga membutuhkan isu lain untuk menambah bobot cerita. Meski belum sampai level mengganggu, jika hal itu dikurangi, film ini akan semakin baik.
Hal yang paling dominan dari sisi teknis film ini adalah sinematografinya yang benar-benar indah. Hal ini sesuai dengan reputasi Sim F yang merupakan sutradara video klip yang karya-karya terkenal dengan keindahannya. Banyak gambar-gambar yang sangat-sangat keren disini.
Selain Sim F, kehadiran Yunus Pasolang sang master sinematografi juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keindahan gambar-gambar film ini. Bagaimana tidak, film-film Yunus yang lain seperti Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, Headshot, dan Fiksi. juga terkenal dengan sinematografinya yang luar biasa memukau.
Berbicara tentang musiknya, meskipun dapat menggambarkan banyak hal dari filmnya dan pada beberapa adegan dapat membantu membangkitkan nasionalisme penontonnya, tetapi ada beberapa adegan yang menurut saya musik latarnya agak mengganggu. Meskipun minor, terkadang itu masih tetap bermasalah bagi saya.
Tata busana di Susi Susanti Love All dibuat sesuai dengan zamannya. Mewakili dekade 80-an dan 90-an, film ini mampu merepresentasikannya dengan baik. Terima kasih kepada tim produksinya yang tidak main-main dalam melakukan riset. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat positif bagi dunia perfilman tanah air.
Dari sisi akting, Laura Basuki tampil all-out dan mendongkrak kualitas filmnya satu tingkat lebih tinggi dengan kemampuannya yang memang berada di atas rata-rata. Dion Wiyoko juga masih bermain aman, meski masih sedikit kaku di beberapa adegan. Dibandingkan Dion-Laura, chemistry terbaik di film ini adalah antara Moira yang bermain sebagai Susi kecil dengan Iszur Muchtar yang bermain sebagai ayahnya.
Perhatikan kutipan dibawah ini:
Susi: "Aku kesal"
Ayah: "Halo, Kesal"
Ini masih kutipan terbaik di seluruh filmnya. Sederhana, indah, menggugah, menggelikan, dan juga mengundang tangan-tangan jahil untuk membuat meme.
Rival dan Pendukung Susi Susanti
Dalam satu adegan, ayah Susi berkata pada Susi bahwa apabila lawanmu kuat, maka kamu lebih kuat lagi jika berhasil mengalahkan mereka. Susi sendiri mempunyai rival-rival kuat yang membantunya untuk semakin berkembang menjadi yang terbaik.
Ada Lee Young-Suk yang dilawannya ketika final Piala Sudirman 1989. Ada Bang Soo- Hyun lawannya di final Olimpiade 1992. Lawan yang menginspirasi dan menginspirasi satu sama lain. Di tingkat lokal pun ia masih mempunyai rival level atas seperti Ivana Lie yang menempati posisi pertama saat ia masuk ke Pelatnas dan juga sahabatnya Sarwendah Kusumawardhani.
Rivalitas adalah sesuatu yang baik bagi siapapun. Tanpa seorang lawan tangguh, seseorang takkan mampu mengukur batas kemampuannya. Ia akan senantiasa menganggap dirinya yang terbaik. Banyak rivalitas yang membangun satu sama lain. Ada Pepsi-Coca Cola di bidang minuman kaleng, Apple-Samsung di peralatan elektronik, Ronaldo-Messi di sepakbola, hingga Nadal-Federer di tenis. Rivalitas mereka terbukti mampu meningkatkan kemampuan masing-masing.
Untuk menggapai kemajuan, selain rival seseorang juga butuh dukungan. Susi Susanti mendapatkan dukungan itu dari ayahnya yang selalu hadir memberikan motivasi dan hiburan kepadanya di saat ia bingung untuk melangkah. Begitu pun ibunya yang selalu mendukungnya atas segala sesuatu yang ingin dilakukannya. Kakaknya yang dengan diamnya menyimpan cemburu ketika adiknya 'melangkahinya' untuk menjadi pebulutangkis ulung pun tetap mendukung dan tak pernah mencegah jalan takdirnya.
Alan Budikusuma, sang cinta tampil ambigu. Di satu sisi, ia dapat membangkitkan sisi lain Susi. Susi yang biasanya hidup terlalu serius pun dapat sedikit lebih santai apabila berada di dekat Alan. Di sisi lain, kehadiran Alan tampak seperti batu sandungan bagi perkembangannya (dan juga Alan sendiri). Mereka menurun saat bersama, meskipun pada akhirnya mereka berhasil membuktikan bahwa mereka dapat menggapai mimpi bersama.
Dukungan yang teramat besar juga hadir dari seluruh anak bangsa Indonesia yang selalu hadir menjadi saksi pertandingan. Kalaupun tidak secara langsung di stadion, mereka tetap menonton di hadapan layar televisi. Puluhan juta pasang mata selalu siap menonton perjuangan Susi sekaligus berdoa untuk kemenangannya dan kemenangan bangsa Indonesia.
Isu Politik dan Penindasan Minoritas, Perlukah?
![]() |
| Duo Susi! |
Seperti disebutkan sebelumnya, salah satu yang membuat film ini terlalu kentara dengan kepentingan sebuah pihak adalah selipan isu politiknya yang terlihat membelah fokus. Pada awalnya, isu itu terlihat sekadar menjadi bumbu karena isu itu memang riil terjadi pada masa Orde Baru pimpinan Jenderal Suharto.
Sayangnya, ini adalah film bertema olahraga dan merupakan biografi seorang tokoh yang seharusnya dapat menginspirasi penontonnya. Selipan isu-isu seperti itu terkadang terlihat terlalu muluk dan bisa merusak jalinan cerita filmnya.
Film ini tetap dapat mencapai tujuannya. Film ini masih tetap indah, menggugah dan berhasil mengenalkan Susi yang merupakan pahlawan bulutangkis Indonesia. Meskipun sekali lagi, tolong pisahkan film biografi seorang tokoh dengan kampanye kepentingan suatu pihak.
Penutup
Film ini adalah film biografi yang sangat tepat dalam memperkenalkan legenda sekelas Susi Susanti kepada generasi muda maupun mengenang sang legenda. Di luar isu politik yang sedikit mengganggu, film ini masih sangat layak untuk mendapat apresiasi penonton. Film ini mengandalkan sinematografinya yang luar biasa indah dan kualitas akting yang sudah tidak diragukan dari deretan pemain-pemainnya.
Note: Selamat hari sumpah pemuda semuanya, yuk ke bioskop!
#30DWCDay12
#Squad5




Comments
Post a Comment