99 Nama Cinta, Film (tentang) TV yang Religius
Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar
|
Judul
|
: 99 Nama Cinta
|
|
Sutradara
|
: Danial Rifki
|
|
Penulis Skenario
|
: Garin Nugroho
|
|
Genre
|
: Drama
|
|
Pemain
|
: Acha Septriasa, Deva Mahendra, Chiki
Fawzi, Ira Wibowo, Donny Damara, Susan Sameh, Dzawin, Adinda Thomas
|
|
Rilis
|
: 14 November 2019
|
|
Durasi
|
: 106 Menit
|
Pernah dalam satu fase dalam hidup saya, di masa-masa awal remaja sebagai seorang siswa SMP yang slengekan, setiap pagi saya dan teman-teman sekelas melagukan asmaul husna. 99 nama istimewa yang maha indah milik sang pemilik jagat. Saat itu, saya hanya melaksanakan rutinitas itu tanoa banyak-banyak bertanya dan memahami maknanya.
Lima tahun sudah habis tandas sejak terakhir kali rutinitas itu tiap pagi terjalani. Kini, lafal-lafal nama itu sudah jarang membasahi mulut ini, mungkin nama-nama itu sudah hampir kabur dari ingatan, menghilanh. Hingga suatu fenomena hampir dan memengaruhi nasib. Fenomena ini singgah ketika saya juga sedang panas-oanasnya mempelajari filsafat dan makna kehidupan.
Saat itu, layar telepon cerdas memutarkan sebuah cuplikan video promosi sebuah karya film terbaru yang bahkan gaungnya tak pernah terdengar, boro-boro dapat memberikan perspektif baru. Video singkat itu 'menjual' nama Garin Nugroho sebagai penulis naskah dan Acha Septriasa sebagi bintang itama. Dua nama inilah yang membuatku mantap ketika melangkahkan kaki ke gedung bioskop untuk menonton karya terbaru Danial Rifki yang pernah memenangkan Piala Citra enam tahun silam.
Film pun dimulai. Cerita mengalir mengayun membuai dan memancing tawa serta mengaduk-aduk rasa. Film ini tidak menipu penonton dengan judulnya. Film ini juga bukan film televisi religi bertema klise yang dibumbui dengan tangisan-tangisan tokoh utamanya yang tidak henti-hentinya tersakiti.
Naskah besutan Garin Nugroho benar-benar tampil dengan cemerlang dengan berbagai dialog-dialog nyelekit yang memerangkap jiwa penontonnya lewat isu yang sedang ramai dan sensitif untuk dibicarakan dalam dua-tiga tahun belakangan.
Jika dibilang 99 Nama Cinta adalah film pengobat kerinduan akan film religi berkualitas, film ini bisa jadi iya ataupun tidak. Meskipun tidak sesemarak pertengahan 2000-an dulu, di 2010-an jagat sinema tanah air bukannya tidak memproduksi film religi. Terakhir, ada Mencari Hilal yang sukses menjadi jawara Festival Film Indonesia. Tetapi, sungguh film ini kembali membawa 'semangat' Ayat-Ayat Cinta yang murni ingin menyampaikan agama lewat seni, bukan ingin berkampanye atas suatu kepentingan dengan embel-embel 'seni'.
99 Nama Cinta berkisah tentang Talia (Acha Septriasa), wanita 30-an yang sedang mereguk kesuksesan menjadi seorang produser dan presenter sebuah acara infotainment di sebuah stasiun tv fiktif. Pertemuannya dengan Kiblat (Deva Mahendra) yang ternyata teman masa kecilnya ternyata membuat hidupnya terombang-ambing dalam kegelisahan. Ditambah lagi, pertemuan itu membuat kariernya hampir tamat.
Di tengah kebimbangan akan keberlangsungan karier; tuntutan untuk melaksanakan wasiat ayahnya; dan perasaan kompleks terhadap Kiblat lah Talia untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun kebingungan dalam menentukan pilihan hidupnya. Dua rekan berbeda visi terhadapnya: Mlenuk (Adinda Thomas) dan Candra (Susan Sameh) dan juga wanita pesantren 'pesaingnya' Husna (Chiki Fawzi) juga semakin membuat riuh di kehidupan Talia. Membuatnya harus menjalani kehidupan yang jauh dari zona nyamannya selama ini. Membuatnya berpikir....
Secara umum film ini mampu menyampaikan pesan yang ingin disampaikan penulisnya . Naskah Garin lumayan solid dan tidak terkesan terburu-buru dalam menyampaikan ceritanya. Karakterisasi tokoh-tokohnya kuat. Dialog-dialognya juga, meski ringan tetap mampu memberi kesan ditambah hal itu dapat diterjemahkan dengan baik oleh aktor-aktrisnya.
Selain penampilan Acha yang sudah tidak perlu banyak dikomentari karena aktris yang satu ini mau dibuang kemana pun tetap saja bermain bagus, Adinda Thomas dan Dzawin dapat tampil mencuri perhatian dan bisa dibilang merupakan pusat guyonan film ini. Entah kenapa, bila biasanya karakter seperti ini akan terasa menjengkelkan karena dialog komikalnya, kali ini duo ini mampu tampil prima menampilkan sesuatu yang komikal tapi tak sampai menjengkelkan.
Pewarnaan, editing, sinematografi, dan tata teknis lain tampil aman tanpa ada yang perlu dikritik tajam ataupun dipuji berlebihan. Begitupun dengan tata musik yang menyelipkan lagu 'Lord' Didi Kempot yang sedikit mengejutkan.
Dari segi busana, sebuah stereotip yang sengaja dibangun dari awal sukses menjadi tema busana yang tidak terlalu judgemental terhadao tema ceritanya. Semuanya tampil bagus tanpa ada niat untuk menonjol.
Seluk Beluk Pertelevisian
99 Nama Cinta memang merupakan film religi. Tetapi, alih-alih tampil menjadi penyorot budaya religiusnya, film ini lebih menggebrak dengan detailnya yang sangat memukau dalam menjelaskan proses kreatif hingga produksi sebuah program televisi.
Terlepas dari bobroknya acara tv lokal yang harus kejar tayang dan dipenuhi dengan tuntutan pasar yang memang tudak kalah jebloknya, film ini berhasil menumbuhkan sedikit rasa iba kepada mereka-mereka yang berkecimpung di dunia pertelevisian. Bukan presenter atau siapa pun yang berada di depan layar, tetapi lebih kepada orang-orang yang berada di belakang layar.
Coba perhatikan di awal film bagaimana Candra dan Mlenuk yang harus memutar akal agar bisa membujuk calon narasumber mereka. Yang lebih membuat diri merasa miris adalah bagaimana tuntutan pekerjaan membuat mereka kehilangan rasa kasihan mereka kepada orang lain. Yang terpenting adalah pekerjaan selesai.
Tuntutan pekerjaan yang mendatangkan pengorbanan besar juga hadir pada sang karakter utama, Talia yang rela pulang-pergi Jakarta-Kediri untuk membujuk Kiblat agar mau menjadi narasumber nya di acara terbarunya, Kuliah Subuh. Pekerjaan itu bukan hanya menggerus tenaganya, tetapi juga emosinya karena akan adanya hubungan kompleks yang melekat dengan semakin berjalannya kisah.
Lagi-lagi industri merenggut Candra yang berhati nurani dan mengubahnya menjadi monster cantik yang hanya memedulikan pekerjaan. Persepsi yang berlebihan memang dalat dikatakan sebagai pembelaan atas kesalahan yang dilakukan Candra. Tapi, faktor utana tetaplah cara kerja program televisi yang serba ekspres dan peduli kuda dengan kualitas.
Kualitas? Ya, 99 Nama Cinta dengan blak-blakan menyampailan bahwa acara dengan rating tertinggi itu merupakan acara gosip atau infotainment. Tidak peduli presenternya itu berpengalaman seperti Talia atau anak kemarin sore seperti Candra, acara yang satu ini tetap menjadi favorit.
Secara umum infotainment sudah dianggap secara luas sebagai produk level bawah dari jurnalisme. Salah seorang jurnalis malahan dalam blog pribadinya menjuluki infotainment sebagai 'anak haram jurnalisme'. Majelis Ulama Indonesia sendiri sudah pernah mengeluarkan fatwa acara ini haram. Tetapi, tetap saja popularitasnya tak mengendur.
99 Nama Cinta ternyata cerdas dalam bercerita. Dengan plot twist bangsat yang membuat saya terkejut, film ini mampu membuat penonton berinterpretasi dengan jelas kalau inforainment memang bukan konsumsi yang layak dan sehat.
Nama-Nama Tuhan dan Kehidupan
Saya mengwali tulisan ini dengan sedikit kilas balik masa SMP saya ketika tiap pagi kami melantunkan 99 nama indah ini. Asmaul Husna, begitu nama-nama ini disebut. Tiap-tiap butirnya memberikan masing-masing makna yang menggambarkan bagaimana peran Tuhan dalam kehidupan makhluknya.
Meskipun bernapaskan Islam, 99 Nama Cinta berhasil menceritakannya lebih universal. Film ini tidak mencoba untuk menggurui dengan membenarkan suatu ajaran dan menyalahkan yang lain. 99 Nama Cinta lebih menyorot kepada cinta kasih Sang Pencipta yang dititipkan lewat tangan-tangan manusia yang peduli dengan sesama.
Begitulah 99 Nama Cinta menunjukkan hal itu lewat sebuah bencana alam. Meskipun menyedihkan tetapi Tuhan tidak lepas tangan. Ia memberikan pertolongan lewat Kiblat dan santri-santrinya. Alhasil, tidak ada korban jiwa yang jatuh akibat bencana itu. Begitulah cara Tuhan bekerja.
Penutup
99 Nama Cinta adalah film religi yang sebenarnya kurang pas juga dibilang film religi murni. Film ini lebih pas dibilang film pembongkaran pertelevisian dibalut dengan makna ketuhanan. 99 Nama Cinta tidak sekadar menjual nama Garin Nugroho dan Acha Septriasa di sini. Film ini memang sangat baik dalam bertutur. Tidak terlalu spesial, tetapi masih sanggup menyentuh relung juwa. Adios.




Comments
Post a Comment