A Clash of Kings dan Pecahnya Perang Raja-Raja

Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar


A Clash of Kings adalah peningkatan level dari A Game of Thrones. Pendapat ini sulit dibantah dengan fakta bahwa seperti pendahulunya, novel ini juga memenangkan Locus Award pada 1999. Argumen lain menyebutkan bahwa cerita yang semakin kompleks dan rapi turut membuat novel ini lebih bagus secara kualitas. Alasan terbaik tentu saja fakta bahwa A Clash of Kings lah yang membuat serial A Song of Ice and Fire meledak di pasaran.

A Clash of Kings dimulai dengan kondisi kerajaan yang terpecah belah, kematian Raja Robert I Baratheon disusul dengan 'pengkhianatan' orang kepercayaannya, Eddard Stark membuat kerajaan runtuh dalam sekejap. Perang besar tidak dapat dihindarkan lagi. Putra Eddard, Robb Stark yang sudah mengumpulkan bawahannya sejak di akhir buku pertama, A Game of Thrones berhasil memenangkan beberapa pertempuran, bahkan berhasil menyandera Jaime Lannister, ipar raja yang juga merupakan putra dari Tywin Lannister, orang paling kaya di seluruh kerajaan.

Di ibukota, Raja Joffrey I Baratheon, putra Robert bersama Ibu Suri Cersei Lannister kelimpungan dalam menjalankan transisi pemerintahan. Untungnya, Tywin Lannister mengirimkan putra bungsunya, Tyrion Lannister si Kurcaci Jenius untuk menggantikannya sementara sebagai pelaksana pemerintahan.

Di sisi lain kerajaan, dua adik Robert, Stannis Baratheon dan Renly Baratheon masing-masing mendeklarasikan diri menjadi raja. Alasannya adalah karena sebuah rahasia yang terungkap bahwa anak-anak Robert sebenarnya adalah anak hasil hubungan gelap Ratu Cersei dengan saudaranya, Jaime. Stannis memang anak yang lebih tua dibanding Renly, tetapi Renly lah yang memiliki dukungan lebih besar. Hal ini adalah karena ia didukung oleh dua wilayah sekaligus, Stormlands dan the Reach, sedangkan Stannis hanya didukung oleh wilayah kepulauan Dragonstone dan sedikit bala bantuan dari bajak laut Salladhor Saan.

Untuk melengkapi kelima raja yang nantinya akan saling berperang, terakhir ada raja bajak laut dari Iron Islands, Balon Greyjoy. Greyjoy yang sepuluh tahun sebelumnya sudah pernah memberontak kepada Raja Robert kali ini kembali mencoba peruntungannya usai kematian sang raja.

Perang Lima Raja, begitulah peperangan yang disajikan di buku kedua karya George R. R. Martin ini dinamai. Usai berhasil memukau pembacanya dengan semesta kompleksnya di buku pertama, Martin kembali menyajikan cerita yang lebih gila dan kompleks di jilid dua serial A Song of Ice and Fire. Seperti pendahulunya, buku ini mampu menampilkan intrik-intrik khas kerajaan abad pertengahan, bahkan lebih mantap dan intens.

Sejak prolog, buku ini sudah mampu tampil dengan intensitas tinggi. Makin ke tengah, intensitas semakin tinggi, meskipun di beberapa bagian masih ada penurunan tempo cerita untuk sekadar memberi napas bagi pembacanya. Tetap saja, secara keseluruhan, cerita A Clash of Kings sangat sadis dengan berbagai kekejaman yang tidak pandang bulu kepada berbagai karakternya.

Karakter yang Semakin Kompleks

Ambiguitas Moral Karakter

Jika buku pertama banyak mengenalkan karakter-karakter yang penuh dengan keabu-abuan moral, buku keduanya meningkatkan keabu-abuan itu ke level yang lebih tinggi lagi. Konsep no real heronya Martin benar-benar semakin terasa disini. Semuanya bertindak berdasarkan cara berpikirnya masing-masing, bukan berdasarkan tindakan yang 'benar'.

Saya ambil contoh Theon Greyjoy yang merupakan tokoh yang sanggup melakukan pengkhianatan kepada 'keluarga angkatnya' hanya untuk membuktikan kepada ayahnya bahwa ia layak mendapat kepercayaan. Motivasinya terlihat dangkal, tetapi hal itu sebenarnya sangat mungkin dilakukan manusia. Kekompleksan manusia sanggup digambarkan Martin disini.

Contoh lainnya adalah bagaimana Tyrion Lannister menikmati kekuasaan yang didapatnya di ibukota. Sebagai penguasa, ia tidak segan menggunakan cara-cara kotor dalam menjalankan pemerintahan. Ia tidak segan melakukan suap, membungkam lawan politiknya, bahkan sampai membunuh mereka untuk memastikan posisinya tanpa oposisi di pemerintahan.

Moralitas seperti itulah yang membuat buku ini lumayan berat dan membutuhkan banyak referensi untuk dapat mencerna ceritanya. Kalaupun belum tahu referensinya, pembaca masih dapat mencari referensinya secara paralel dengan membaca bukunya.

Mayoritas tokoh-tokoh di buku pertamanya kembali muncul. Tokoh-tokoh itu pun semakin berkembang usai menghadapi berbagai cerita di buku pertama. Daenerys misalnya, apabila di awal buku pertama ia diperlihatkan selalu pasrah atas segala sesuatu yang menimpa, kali ini ia sudah bisa bersikap vokal atas keinginannya. Ia bukan lagi Daenerys yang lemah gemulai, ia sudah berubah menajdi Daenerys yang telah membaja ditempa berbagai kesulitan dunia, kehilangan saudara, putra, dan suami tercinta.

Perkembangan lain juga dapat dilihat di karakter Sansa. Jika di buku pertama, Sansa cenderung melihat dunia sebagai taman surga yang indah, kali ini gaya berpikir Sansa sudah berubah . Ia kini lebih sering melihat dunia sebagai tempat penuh penderitaan tiada akhir. Perkembangan yang sama juga terjadi pada adik-adiknya, Arya dan Bran. Kedewasaan semakin terlihat di dua anak Eddard dan Catelyn ini. Di sisi lain, ibu mereka Catelyn juga semakin menunjukkan sikap ibu idaman.

Anak Eddard yang lain, Jon Snow juga memperlihatkan perkembangan karakter yang signifikan. Selain kemampuan bertarungnya yang semakin bagus, kemampuannya dalam memimpin juga semakin berkembang. Begitupun dengan sikapnya yang sudah mulai menerima takdirnya. Petualangannya di seberang the Wall memberikan banyak pelajaran berharga baginya. Ia mulai mengerti kalau di dunia itu tidak ada yang bersifat mutlak. Semuanya dapat bergerak sesuai dengan apa yang memengaruhinya.

Perang Lima Raja dan Puncak Cerita

Lima Raja yang Saling Memberangus

Secara umum, cerita A Clash of Kings memang terfokus pada Perang Lima Raja yang terinspirasi dari kejadian dunia nyata. Seperti sudah dijelaskan di ulasan buku pertama, War of the Roses adalah inspirasinya. Jika di versi nyatanya yang berperang adalah antara dua cabang House of Plantagenet, Lancaster dan York, maka di versi fiksinya yang berperang adalah antara Stark dan Lannister.

Meskipun berfokus pada Perang Lima Raja, tidak dapat dipungkiri bahwa buku ini masih membawa garis besar dari buku pertamanya yaitu menceritakan perebutan takhta, restorasi Targaryen, dan Long Night.

Karena itulah, cerita ini memiliki beberapa klimaks yang nantinya akan bermuara pada suatu titik. Klimaks ini memang tidak terlihat langsung mempunyai titik terang, tetapi jika jeli dengan petunjuk-petunjuk yang ada semuanya akan terlihat jelas.

Klimaks perebutan takhta terjadi ketika Stannis Baratheon menyerang King's Landing dengan armada yang sangat besar. Pertempuran Blackwater, begitu pertempuran apik itu dinamai. Pertempuran yang terinspirasi dari Pengepungan Kedua Konstantinopel ini adalah adegan pertempuran terbaik yang pernah ada di A Song of Ice and Fire.

Adegan Pertempuran Blackwater tidak hanya memperlihatkan adegan bunuh-bunuhan dan adu otot tetapi juga memperlihatkan sisi drama pskiologinya yang sanggup direkam dengan sangat baik dari sudut pandang Sansa. Hal lain yang membuat pertempuran ini hampir sempurna adalah kejutan-kejutan yang diperlihatkan bukan sekadar kejutan-kejutan biasa tetapi kejutan yang dibangun dengan cerita yang hebat.

Ceritanya terbangun dengan sangat rapi di sepanjang buku. Martin mampu memperlihatkan hubungan sebab akibat tiap-tiap plotnya dengan lengkap meski tidak dijelaskan secara berurut. Hal inilah yang membuat ceritanya tidak hanya mengandalkan kejutan-kejutan yang tak bermakna.

Dany di Rumah Sihir

Klimaks plot restorasi Tagaryen terjadi ketika Daenerys mengunjungi suatu rumah sihir dimana ia mendapatkan semacam wangsit yang berisi berbagai banyak teka-teki yang membutuhkan terjemahan. Banyak penggemar yang sudah membahas hal ini dan berargumen atasnya. Bagian ini merupakan salah satu cerita Daenerys terbaik di sepanjang serial dan lumayan kontras dengan ceritanya di A Clash of Kings yang cenderung datar dan tanpa konflik yang berarti.

Terakhir, plot Long Night hanya diceritakan sedikit dari sudut pandang Jon Snow ketika di Craster's Keep. Meski tidak mempunyai klimaks cerita, disini, pembaca dapat menemukan berbagai fakta-fakta baru yang akan berguna ke depannya.

Puncak-puncak cerita A Clash of Kings bisa dibilang adalah salah satu yang terbaik di sepanjang A Song of Ice and Fire. Nilai tambahan yang semakin mengangkat level novel ini.

Penutup

A Clash of Kings adalah novel yang mempunyai level kompleksitas cerita yang lebih tinggi dibandingkan buku pertamanya. Dengan konflik yang lebih intens dan tempo yang lebih cepat, ceritanya mampu membuat pembaca memerlukan kehati-hatian dalam memahami ceritanya. A Clash of Kings turut dibumbui dengan ambiguitas moral seperti buku pertamanya. Tidak ada karakter yang benar-bebar pahlawan disini. Bagi penggemar buku fantasi haruslah membaca mahakarya Martin ini. Adios.

#30DWCDay21

Comments