Melihat Dwilogi Negeri Para Bedebah dari Kaca Mata Sosial-Ekonomi-Politik
Oleh : Syafril Agung Oloan Siregar
Tentang Dwilogi Negeri Para Bedebah
Tentang Dwilogi Negeri Para Bedebah
Bagian III - Analisis Sistem Sosial-Politik-Ekonomi
Dwilogi badass karya Tere Liye ini bisa dibilang blak-blakan, lugas, jujur, mencerahkan dan tidak tanggung-tanggung dalam kritikannya. Mungkin ada beberapa orang yang akan merasa tersindir oleh bagaimana Tere Liye mempertontonkan rahasia umum kepada khalayak. Sebenarnya, oknum-oknum itu tidak perlu malu, dengan atau tanpa dwilogi ini, orang-orang sudah tahu sebenarnya bagaimana permainan kotor para orang-orang 'terpanggil' tersebut.
Setelah di bagian I dan bagian II saya membahas masing-masing kekuatan kedua bukunya, kali ini saya akan membahasnya lebih intim, dari segi sosial, pandangan ekonomi, dan politik.
Ditinjau dari sisi sosial, dwilogi ini banyak memenuhi konsep-konsep dasar sosial masyarakat. Saya ambil contoh bagaimana tokoh Thomas digambarkan berasal dari kelas atas yang berguna dalam menyelesaikan masalahnya.
Coba dibalik, bagaimana jika tokoh Thomas dibuat berasal dari kelas bawah. Apakah ia masih dapat melewati masalahnya? Jika hanya berdasarkan pada caranya di buku ini, maka sulit, karena cara Thomas menyelesaikan berbagai masalah adalah lewat 'koneksinya' dengan berbagai kalangan atas lainnya yang 'hampir mustahil' dapat dilakukan oleh kelas bawah.
Kejomplangan kelas sosial juga lagi-lagi ditunjukkan lewat karakter Thomas. Hal yang paling terlihat adalah bagaimana ia memperlakukan pegawainya, terutama Maggie. Maggie seringkali terlihat pasrah ketika dibebankan Thomas dengan tugas-tugas yang di luar job descnya. Di luar bahwa mereka masih menyepakati hal itu, Maggie sering kali menggumam, 'kaulah bosnya'.
Dwilogi ini juga semakin menguatkan pendapat bahwa karya fiksi lebih condong menceritakan kelas atas dibandingkan kelas bawah. Meskipun cerita-cerita mengenai kelas bawah juga banyak diceritakan. Tetapi, apabila dibandingkan, cerita tentang kelas atas lebih sering diceritakan. Pola ini sulit dihindari, dan dwilogi Negeri Para Bedebah kembali membuktikannya.
Dari sisi pandangan ekonomi, hampir rata-rata karakter di dwilogi adalah seorang kapitalis atau semi-kapitalis. Karakter Thomas misalnya adalah salah satu contoh yang sangat menerapkan konsep ini. Thomas yang merupakan seorang konsultan ekonomi tentu saja banyak bergantung pada pasar. Apabila pasar sehat, maka ia juga akan banyak mendapatkan uang. Karena itulah saya menganggapnya sebagai seorang kapitalis.
Karakter lain seperti Maggie, Julia, Maryam, Om Liem, dan Opa juga bisa dibilang adalah penerap kapitalisme karena mereka yang memang berkecimpung di dunia pasar bebas. Sayangnya, kecenderungan ini kurang tereksplor.
Dari sisi politik, demokrasi masih menjadi topik pembahasan utama terutama di Negeri di Ujung Tanduk yang banyak membahas pemilihan umum. Ada satu hal yang unik yang tertulis di sini. Dalam satu sesi wawancara, Thomas mengatakan, "Tidak ada demokrasi untuk orang bodoh". Hal yang sejujurnya agak menyentil, karena demokrasi membuat suara seorang profesor sama dengan seorang yang buta huruf. Ya, itulah demokrasi. Cacat? Entahlah, simpulkan sendiri.
Penutup
Dwilogi ini banyak memberi pencerahan mengenai kondisi masyarakat di bidang sosial, ekonomi dan politik. Banyak pesan-pesan yang maknanya akan berpilin-pilin. Satu pesan yang sampai pada saya dari dwilogi ini, cerita itu selamanya akan merekam manusia dan layak dicari maknanya.
#30DWCDay29


Comments
Post a Comment