Bisakah A Dance with Dragons Menangkan Hati Pembacanya?

Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar



"A reader lives a thousand lives before he dies, the man who never reads lives only one" - Jojen Reed

A Dance with Dragons pada dasarnya adalah buku yang mempunyai jalan cerita yang menarik, tetapi bila Feast bermasalah dengan kontinuitas cerita, buku ini bermasalah dalam kemajuan alur ceritanya. Setengah dari cerita buku ini seperti hanya berputar-putar dan terlalu bertele-tele. Slow burn mungkin adalah istilah yang paling tepat untuk menggambarkan novel ini, kejadian-kejadian puncaknya hanya terjadi di ujung-ujung cerita.

A Dance with Dragons menyorot sisi yang berbeda dengan A Feast for Crows. Keduanya mempunyai garis waktu yang sama, hanya latar ceritanya yang berbeda. Bila Feast menyorot ibu kota, Iron Islands, dan Dorne, A Dance with Dragons mengambil latar cerita di the Wall dan seberang Laut Sempit.

Cerita dimulai dengan Tyrion yang terbangun di Pentos. Usai diselundupkan oleh Varys di penghujung A Storm of Swords, ia kini berada di mansion Magister Illyrio Mobatis. Tyrion memulai perjalanannya di A Dance with Dragons dengan pembicaraan intens dengan Magister Illyrio. Illyrio kemudian memberinya tugas untuk bergabung dengan mereka dalam rencana restorasi Targaryen.

Usai dari Pentos, Tyrion kemudian menuruni Sungai Rhoyne bersama Griff dan kawanannnya. Di perjalanan inilah Tyrion membongkar konspirasi puluhan tahun yang dijaga dengan rapi oleh tokoh-tokoh yang terlibat. Dengan kejelian dan kecerdasannya, Tyrion mampu membungkam para konspirator agar tidak menutup-nutupi rencana mereka lagi.

Di Meereen, Daenerys Targaryen sedang kesulitan dalam menjalankan pemerintahannya. Ia sedang menghadapi masalah berupa serbuan pasukan 'hantu' yang menyelinap di kegelapan malam dan membunuhi orang-orangnya. Rencana Daenerys untuk mereformasi Meereen tidak semulus yang dipikirkannya. Niatan baiknya memakan korban banyak.

Berbagai rencana disusun oleh Daenerys dan para penasihatnya untuk mencapai kedamaian. Tetapi, usai kedamaian datang, Daenerys merasakan kejanggalan. Ia gagal dan kalah dalam perjuangannya. Ia tidak dalat merasakan kedamaian yang diraih karena ketidak puasan batin. Hal ini berujung pada sebuah kejadian yang akan merusak segala usahanya.

Untuk melengkapi kisah yang 'hilang' dari A Feast for Crows, A Dance with Dragons turut menceritakan tentang Jon Snow yang sudah menjadi pemimpin Night's Watch usai memenangkan pemilihan di ujung A Storm of Swords. Dalam kepemimpinannya ia mencoba untuk memperbaiki perkumpulan itu. Tujuannya adalah agar Night's Watch dan Free Folk dapat menyatu dan bekerja sama. Hal ini karena Jon Snow sedang mempersiapkan perlawanan melawan pasukan mayat abadi, the Others.

Dalam melaksanakan visinya, Jon Snow mengalami berbagai kesulitan akibat tindakannya terkadang dianggap menyeleweng. Padahal, segala tindakan Jon Snow adalah untuk kemaslahatan bersama. Sayangnya, ia kurang mampu mengomunikasikan idenya dengan baik. Sesuatu yang berujung fatal, kematiannya, atau tidak, atau iya.

Problematika Kepemimpinan yang Dilematik


A Dance with Dragons menyorot banyak hal soal kebimbangan seorang pemimpin. Di buku ini banyak ditampilkan usaha-usaha pemimpin yang mencoba untuk melakukan yang terbaik bagi para anggotanya.

Dimulai dari Daenerys Targaryen yang mengalami berbagai kesulitan dalam menjalankan program pemerintahannya. Setelah sebelumnya menaklukkan Meereen dengan memenangkan Pertempuran Meereen, Dany memutuskan memerintah negara-kota itu sebagai ratunya. Sebagai ratu, Dany membuat banyak perubahan. Beberapa di antaranya cukup radikal untuk terjadi dalam sebuah sistem sosial-politik.

Perubahan paling kentara dari pemerintahan Dany adalah dihapuskannya sistem perbudakan di Meereen. Masalahnya, penghapusan perbudakan oleh Dany tidak disertai dengan penyelesaian solutif yang berguna sebagai penyeimbang sistem perekonomian di Meereen dan juga negara-negara yang mempunyai hubungan bisnis dengannya.

Begini penjelasannya, perbudakan adalah penyokong utama perekonomian Meereen. Ketika Dany menghapuskan perbudakan, otomatis perekonomian Meereen pun terganggu. Di satu sisi tindakan Dany memang inpiratif, tetapi di sisi lain Dany tidak memberikan solusi untuk masalah ekonomi yang terjadi. Ia malah memancing kerusakan lebih parah dengan semakin menekan bangsawan Meereen dengan cara pandangnya sendiri.

Tindakan Dany ibarat seorang presiden yang tiba-tiba melarang rokok karena dianggap menyebabkan berbagai penyakit, tetapi ia tidak punya alternatif pengganti seperti mempersiapkan komoditas lain yang bisa dijual. Meski tindakan presiden tersebut akan banyak dipuji, tetapi itu akan membuat banyak pebisnis rokok gulung tikar. Alhasil, banyak pemilik bisnis yang merasa dirugikan dan akhirnya melakukan pemberontakan.

Begitulah yang terjadi pada Dany. Pada dasarnya Dany adalah orang baik, hatinya lembut, dan amat perasa. Saya setuju dengan hal ini. Tetapi, di sisi lain ia adalah seorang administrator yang buruk. Hal ini merupakan dampak dari usianya yang masih muda dan masih sering melihat dari satu sisi. Hal ini lah yang membuat keputusannya sering kurang tepat.

Terkadang, Dany menyadari kesalahannya dan ia mencoba untuk mendengarkan para penasihatnya. Tetapi, idealisme Dany terlalu kuat sehingga ketidak puasan sering singgah apabila visinya tidak terlaksana.

Disinilah masalahnya, Dany bertindak 'terlalu' menjunjung moralitas yang terkadang tidak terlalu sukses ketika berada dalam masalah pengelolaan pemerintahan. Dan disini pula lah dilema kepemimpinan terjadi. Apakah seoranh pemimpin lebih mementingkan masalah 'moralitas' atau lebih mementingkan masalah 'perekonomian' dan administratif.

Dilema kepemimpinan juga dialami oleh Jon Snow. Tindakan Jon Snow untuk berteman dengan Free Folk dan mengajak mereka untuk kerja sama kurang dipahami oleh rekan-rekannya. Rekan-rekannya menganggap Jon snow lebih mementingkan orang lain (baca: musuh) dibandingkan golongannya sendiri.

Niat Jon ssebanrnya baik. Ia mempunyai visi jangka panjang yaitu melindungi seluruh umat manusia dari kehancuran. Sayangnya, Jon Snow kurang komunikatif dengan semua orang. Ia seringkali dianggap bertindak otoriter, alih-alih meminta pendapat orang lain.

Tindakan ini dilatar belakangi oleh ilmu kepemimpinan yang ia dapat dari ayah dan guru-gurunya. Seorang pemimpin harus dapat memutuskan sesuatu dengan tepat dan cepat. Itulah yang selalu ada di dalam pikiran Jon. Ia tidak tidak terlalu mengambil peduli dengan pendapat orang tentang tindakannya, selama itu 'benar' ia akan melakukannya. Kill the Boy, Jon Snow.

Itu adalah dilema pemimpin baik yang ingin disampaikan oleh George R. R. Martin. Martin menulis ini adalah sebagai 'perbaikan' terhadap Lord of the Rings karya J. R. R. Tolkien. Dalam beberapa wawancara Martin mempertanyakan gaya pemerintahan Aragorn yang merupakan tokoh baik.

Ia mempertanyakan bagaimana tindakan Aragorn terhadap berbagai permasalahan yang ada di kerajaannya. Ambil contoh bagaimana tindakannya terhadap Orc. Apakah ia akan melakukan genosida atau bagaimana kebijakan pajak Aragorn. Lewat A Dance with Dragons lah Martin mencoba untuk menyampaikan ide 'beginilah kalau orang seperti Aragorn memimpin' lewat Dany dan Jon.

Tanggapan atas hal ini pun beragam dari penggemar. Ada yang menganggap normal bila Martin mempertanyakan hal itu dan sampai harus menyempurnakan karya klasik sekelas Lord of the Rings. Sedangkan sisanya menganggap Martin berlebihan menyikapi pemerintahan Aragorn karena pada dasarnya Lord of the Rings bukanlah tentang pemerintahan Aragorn tetapi tentang perjalanan menumpas angkara murka Sauron.

Proses Penggelapan Karakter.


A Dance with Dragons bukan hanya memberikan gambaran soal dilema seorang pemimpin. Dance juga menyorot proses perubahan karakter-karakternya. Contohnya masih berpusat di Dany, Jon, dan Tyrion.

Dany misalnya, ia memulai A Dance with Dragons sebagai ratu yang dipenuhi dengan berbagai keraguan. Setelah berbagai proses, kesulitan dalam memerintah, dan serangkaian kejadian yang mengguncang psikologinya, ia pun bertransformasi menjadi Daenerys yang lebih gelap. Khusus untuk ini saya nantinya akan menulis secara khusus mengenai transformasi Daenerys.

Lanjut ke Jon, Jon pada dasarnya adalah karakter yang mempunyai hati yang baik. Meskipun seumur hidupnya ia selalu mengalami kritis identitas karena statusnya yang hanya anak haram dan ibunya yang tidak jelas siapa. Tetapi, lewat Dance Martin mencoba untuk sedikit menggelapkan karakter Jon agar lebih berani dalam mengambil keputusan-keputusan sulit.

Dalam sau adegan, Jon harus memisahkan seorang ibu dengan anaknya karena itu adalah keputusan yang harus diambil untuk menyelamatkan banyak nyawa. Jika Jon yang berada di posisi itu adalah Jon yang ada di awal buku pertama, putusan itu takkan pernah tercipta.

Dalam adegan lain, Jon harus mengirimkan rekan-rekannya untuk pergi menjelajah ke wilayah yang sulit dijamah. Tanpa adanya kekuatan mental, Jon takkan sanggup memerintahkan hal seperti itu.

Tyrion juga tak luput dari proses penggelapan karakter Martin. Lewat kalimat singkat 'where do whores go?" Martin menunjukkan kalau di dalam diri Tyrion sudah tidak ada lagi sisa humor. Ia sudah hampir menyerah kepada kegelapan. Di dalam hatinya kini yang tersisa adalah dendam dan pembalasan atas kejadian masa lalunya.

Perjalanan Tyrion di A Dance with Dragons benar-benar menyorot bagaimana insting haus darahnya sudah sangat menguasainya. Kebenciannya akan sistem bobrok dunia semakin diperuat dengan berbagai ketidak adilan yang diterimanya.

Tyrion yang dulu di A clash of Kings kini kembali lagi. Jika di Clash dia terlihat sangat menikmati kekuasannanya dan tidak ragu melakukan tindakan yang kejam, ia kali ini menjadi Tyrion yang semakin parah dari itu. Jika ia diberi kekuasaan sebesar itu di Dance, ia takkan ragu untuk melakukan pembantaian besar-besaran.

A Dance with Dragons bisa dibilang merupakan buku tebal yang berisi transformasi menuju kegelapan dari ketiga trio utama A Song of Ice and Fire. Proses ini pada dasarnya akan sangat berguna bagi ketiga tokoh ini di perjalanan mereka selanjutnya, apalagi jika mereka ingin menang dalam hidup.

Perputaran Cerita yang Menjemukan


Meskipun cerita A Dance with Dragons banyak membahas pemerintahan, proses penggekapan karajter, dan cerita-cerita penyokong lain, ceritanya masih terasa berputar-putar dan kemajuan alur ceritanya sering kali terhambat.

Pada dasarnya, Dance mengambil seting waktu yang sama dengan Feast. Ternyata itulah masalahnya, banyak cerita yang dibuat hanya untuk menyorot hal lain dari banyak sisi. Alih-alih memberikan kejadian baru, Dance malah terlalu banyak membahas momen-momen yang sudah lewat.

Barulah di bagian kedua buku ini, alur ceritanya meningkat. Ceritanya maju dan dampaknya adalah banyaknya kejadian-kejadian yang mampu direkam dengan baik oleh pembaca. Yang paling tersorot adalah Walk of Atonement Cersei yang terinspirasi dari hukuman gundik raja Edward IV dari Inggris, Jane Shore; permainan ala gladiator di Daznak Pit; dan 'pembunuhan' Jon Snow yang terlihat terinspirasi dari Julius Caesar.

Penutup

A Dance with Dragons adalah novel yang memiliki kekuatan di penyorotan karakter tokohnya yang sangat kritis dan detail. Dance menunjukkan dilema kepemimpinan dengan sangat baik serta proses oenggelapan karakter yang sangat reasonable. Dance memang seringkali terlalu bertele-tele dalam bertutur dan terhambat dalam kemajuan alur ceritanya, tapi secara garis besar Dance masih sangat menarik untuk diikuti dan masih mampu memenangkan hati para pembaca A Song of Ice and Fire.

#30DWCDay24





Comments