A Storms of Sword, Mahakarya di Atas Mahakarya

Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar


"...Any man who must say 'I am the King is not a true king at all"- Tywin Lannister

A Storm of Sword adalah sebuah mahakarya di atas mahakarya. Tidak perlu banyak argumen dan perdebatan untuk membuktikan kesahihan pendapat ini. Kuadrupel Locus Award, Nebula Award, Geffen Award, dan Ignotus Award yang datang berkunjung ke lemari prestasi novel ini sudah cukup untuk membungkam para kontra. Sayangnya, Hugo Award tak kunjung takluk. A Storm of Swords cuma 'mampu' tampil sebagai nominator dan harus kalah dengan Harry Potter and the Goblet of Fire karangan J.K. Rowling.

A Storm of Swords dimulai dengan Lannister yang sedang berkuasa di ibu kota. Tywin Lannister, sang Hand of the King memulai masa pemerintahannya. Sambil menyelam minum air, begitulah pekerjaan Tywin di buku ini. Selain harus mengurusi administrasi kerajaan, ia juga mencari cara untuk membenamkan Stark.

Perang masih berlanjut, tetapi lebih taktis dan psikologis. Sementara Stark terjebak di Trident dikarenakan akses pulang ke utara diblok oleh Iron born, Tywin mempersiapkan rencana besar menggunakan kertas dan tinta, alih-alih menggunakan pedang. Sebuah konspirasi tingkat tinggi disusun oleh Machiavelli versi fiksi ini. Konspirasi ini nantinya akan bermuara ke sesuatu yang akan dikenang sebagai ikon A Song of Ice and Fire; lebih ikonik dari pemenggalan Eddard Stark.

Selain disibukkan dengan masalah pemerintahan dan perang, Tywin juga disibukkan dengan persiapan pernikahan cucunya, Raja Joffrey I Baratheon dengan putri dari keluarga Tyrell, Margaery. Pernikahan yang ditujukan untuk membuktikan komitmen Tyrell dan Lannister satu sama lain ini nantinya akan diingat sebagai momen yang paling mendatangkan kesenangan di keseluruhan serial.

Untuk meringankan beban, persiapan pernikahan itu juga turut dibebankan kepada putranya, Tyrion Lannister yang kali ini bertugas sebagai bendahara kerajaan. Tyrion bertugas mempersiapkan dana untuk pernikahan akbar itu. Dengan berbagai cara akhirnya Tyrion mampu mencari dana dan secara tidak sengaja mempersiapkan panggung megah untuk kejadian luar biasa.

Di sisi lain, Stannis yang kalah di Blackwater menepi di kastilnya, Dragonstone. Bersama dengan penasihat andalannya, Davos Seaworth ia mencoba untuk menyusun siasat baru dalam merebut takhta kakaknya. Meski awalnya kukuh untuk merebut takhta dengan cara perang, akhirnya Stannis sadar dan kemudian mengganti metodenya. Metode yang membuat ia kemudian semakin dicintai oleh pembaca.

Dentaman pedang memang sudah mereda. Baik Lannister dan Stark lebih memilih untuk menunggu lawan masing-masing melakukan kesalahan. Terpecahnya Stark di tanah Trident yang diakibatkan berbagai keputusan buruk Robb Stark turut mendatangkan berkat bagi lawan-lawannya yang langsung memanfaatkan dengan baik kesempatan itu.

Puncak dari Segala Konflik

Depressive

A Storm of Sword adalah buku ketiga dan hingga kini dianggap sebagai keluaran terbaik dari A Song of Ice and Fire. Di buku ini lah cerita mencapai klimaksnya baik secara plot hingga pengembangan karakter. A Storm of Swords mampu menyajikan konflik-konflik yang lebih strategis dibandingkan konflik-konflik fisik yang disajikan di A Clash of Kings.

Ada banyak momen-momen ikonis yang akan selalu dikenang dari A storm of Swords. Jika disusun, momen-momen itu terlalu banyak untuk ditulis dalam sebuah ulasan singkat. Momen-momen itu ikonis bukan sekadar karena ide cerita yang mengejutkan dan mendebarkan. Momen ikonis itu tercipta karena gaya penceritaannya yang detail dan dipenuhi dengan urutan sebab-akibat yang rapi. Jadi, meskipun mengejutkan, momen-momen itu tidak meninggalkan lubang yang membuat ceritanya dangkal dan tidak berisi.

Ambil contoh the Red Wedding, kejadian yang merupakan titik terendah sekaligus sebuah mahakarya cerita fiksi yang pernah ditulis oleh seorang pengarang. Kejadian ini begitu depresif, menyedihkan, dan membuat marah. Di sisi lain, kejadian ini mampu disusun dengan jalan cerita yang begitu rapi diarahkan oleh George R. R. Martin. Kejadian yang terinspirasi dari  the Black Dinner (1440) dan Massacre of Glencoe (1692) ini mempunyai cerita yang rapi dan tidak bisa dideteksi dalam sekali baca. Barulah di kali selanjutnya, pembaca dapat menyadari bahwa ceritanya tidak serta merta terjadi tanpa latar belakang cerita yang kuat.

the Dragons in Frame

Contoh lain, penaklukan Astapor oleh Daenerys. Jujur, adegan ini masihlah adegan favorit saya dalam seluruh serial. Kejadian ini memberikan bukti sahih dari perkembangan karakter Daenerys. Daenerys yang sebelumnya lemah lembut tak berdaya berubah total menjadi seorang ratu tangguh dan seorang penakluk. George R. R. Martin mampu menuliskan proses berpikir Daenerys dengan detail di adegan ini. Sebuah dampak positif dari penulisan A Song of Ice and Fire yang menggunakan sudut pandang orang ketiga pengamat.

Kematian Joffrey di buku ini memang banyak menyimpan teka-teki akibat kerapian plot yang ditulis oleh Martin. Tetapi, dengan sedikit kejelian, misteri itu akan mampu diungkap karena semuanya sudah diselipkan oleh Martin dengan detail dalam manuskripnya. Jika tidak menemukan titik terang, itu bukanlah kesalahan Martin, baca lebih hati-hati dan kau pasti akan menemukan sebuah kejeniusan dalam pembangunan cerita.

A Storm of Swords dapat dikatakan merupakan tulisan yang sangat kompleks dan merupakan konsekuensi dari dua buku pendahulunya. Buku ini seringkali membalik perjalanan tokoh-tokohnya dengan cara-cara yang di luar nalar. Cara-cara yang terkadang membuat hati geram dengan gaya tulisan Martin yang lumayan membuat hati teriris-iris. Ia tak ragu dalam menguncang hati para pembacanya dengan sederetan kejadian-kejadian yang tidak dipersiapkan untuk mental-mental lemah.

Konsekuensi Petualangan Para Karakter

the Lowest of Jaime

Prolog A Storm of Swords diceritakan dari sudut pandang Chett, seorang anggota Night's Watch yabg sangat membenci Samwell Tarly, rekannya. Chett diceritakan adalah orang yang mempunyai hati yang beja tetapi otaknya dangkal, pendidikannya rendah. Dalam satu adegan, ia hendak membunuh beberapa orang yang dianggapnya mendatangkan kesialan di hidupnya. Sayangnya dan syukurnya, akibat rencannaya yang tidak punya pola yang jelas, ia gagal dan mati setelahnya.

Chett adalah salah satu cara Martin dalam menggambarkan bahwa sebuah rencana itu haruslah disertai dengan strategi yang jitu. Tanpanya, rencana tersebut hanya akan berakhir menjadi malapetaka yang menyakitkan.

Contoh ain, petualangan Jaime Lannister, tokoh yang dibenci di awal serial ini. Tapi, A storm of Swords memberikan kesempatan vagi Jaime untuk melakukan sesuatu yang lebih heroik sehingga konsekuensi petualangannya akan lebih baik. Dalam prosesnya, ia memang banyak kehilangan banyak hal. Tetapi, ia berhasil menemukan sesuatu yang lebih berharga.

Petualangan Jaime di A Storm of Swords adalah salah satu petualangan antihero terbaik dalam sejarah cerita fantasi. Apalagi, dengan gaya penceritaan yang memberikan pembaca akses untuk menyelam ke pikiran Jaime, membuat petualangannya semakin nikmat untuk diikuti. Jaime berubah dari tokoh yang mendatangkan caci-maki, menjadi tokoh yang mendatangkan puji.

Karakter-karakter lain seperti Jon Snow dan Daenerys juga memiliki konsekuesi petualangan mereka sendiri. Jon Snow misalnya, petualangannya sudah membawanya semakin terjerembab jauh ke utara the Wall, membuatnya mesti bergaul dengan segerombolan suku barbar yang selama ratusan tahun menjadi musuh luluhurnya. Petulangan itu mendatangkan cinta, luka, dan kedewasaan baginya.

Lain lagi dengan Daenerys, petualangan sudah mengubahnya begitu dalam. Bila di masa mudanya ia hanya memikirkan hal-hal sederhana seperti rumah berpintu merah, kali ini ia harus memikirkan sesuatu yang lebih besar. Ia harus berpikir untuk melindungi orang-orang yang sudah rela mengikutinya. Itu adalah konsekuensi dari perjalanannya, tanggung jawab.

Cat
Konsekuensi petualangan paling tragis dialami oleh Catelyn Stark. Buku dibuka dengan kesalahannya melepas tawanan perang kelas kakap, Jaime Lannister. Keputusan yang kemudian hari terbukti menjadi malapetaka karena memberikan celah bagi lawan untuk mengeskploitasi kelemahannya. Kesalahan ini begitu fatal. Berakibat pada hampir punahnya seluruh orang-orang yang menggantungan nasib pada ia dan putranya.

Nasib yang tidak jauh berbeda juga dialami oleh tiga anak-anak Catelyn yang lainnya. Sansa, dinikahkan dengan Tyrion Lannister karena pilihannya untuk bertahan di ibukota di penghujung buku kedua. Pilihannya untuk menerima uluran tangan Margaery juga ternyata berujung pada pengerukan informasi dan ia secara tidak sengaja terlibat dalam rencana pembunuhan Joffrey. Petualangannya yang lain yaitu menjadi Jonquil dan memercayai Ser Dontos kemudian membawanya bertemu dengan ahli siasat paling licik seantero jagat, Petyr Baelish. Konsekuensinya jelas, pemanfaatan.

Adiknya Arya lain lagi, ia kabur dari kawanan penjahat ala robin hood dan memilih untuk mengadakan 'tur' bersama seorang mantan anak buah musuh keluarganya, the Hound. Satu keputusannya yang lain di ujung buku, kemudian membawanya pergi menyeberang ke negeri orang. Konsekuensinya, kehidupan keras yang tak melunak-lunak.

Terakhir, ada Brandon yang mengadakan perjalanan akibat bujuk rayu mimpi. Perjalanan yang hampir merenggut nyawa ini ternyata sanggup membuatnya menjadi sesutau uang 'lebih baik'. Tidak secara fisik, tetapi secara spiritual.

Penutup

A Storm of Swords adalah bagian terbaik dari serial panjang A song of Ice and Fire yang tidak membutuhkan banyak alasan untuk membuktikannya. Novel ini adalah bagian yang paling kompleks dengan sederetan permainan politik tingkat tinggi yang sulit untuk dipahami tanpa adanya pembacaan yang hati-hati.

Lewat A Storm of Swords, George R. R. Martin semakin membuktikan kemampuannya dalan meramu cerita yang tidak hanya tentang perang atau hanya tentang politik. A Storm of Swords dapat mengombinasikan hal itu dengan hampir sempurna.

A Storms of Sword menawarkan persepsi tentang puncak konflik dan konsekuensi perjalanan. Kedua pokok pembahasan adalah pembahasan yang punya porsinya masing-masing.

Saya sangat merekomendasikan mahakarya ini untuk para penggemar serial fantasi sejati. This was super-masterpiece!

"The Castle can be rebuilt, in time. It's not the wall that makes a lord, it's the man" - Stannis Baratheon

Adios!

#30DWCDay22

Comments