Badai Menerjang di Negeri di Ujung Tanduk

Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar


Tentang Dwilogi Negeri Para Bedebah
Bagian II- Ulasan Buku II

Di Negeri di Ujung Tanduk, politik hanyalah mainan para penguasa untuk mengendalikan manusia. Di negeri di ujung tanduk, apa yang ada di depan mata belum tentu merupakan hal yang wajib dipercayai. Semuanya bisa saja merupakan suatu hal yang sudah diatur sedemikian rupa agar dipercayai oleh banyak orang. 

Di negeri di ujung tanduk lah Thomas melanjutkan hidupnya usai menghadapi serangkaian peristiwa seru dan membuat jantung hampir copot ketika ia menyelesaikan misinya sebelumnya. Kali ini, Thomas bukan hanya seorang konsultan ekonomi, ia baru membuka biro baru di kantornya, biro politik. Dan Thomas bertindak sebagai konsultan utamanya. 

Thomas tidak bercanda ketika ia membuka biro politik, ia memang punya gelar di bidang politik. Hal ini karena ia mengambil double major saat kuliah dulu. Satu di bidang ekonomi dan satu di bidang politik.

Karena hal ini lah Thomas terjebak dalam sebuah lubang mematikan. Situasi dimana ia harus mengurusi salah satu kliennya yang merupakan bakal calon presiden. Hari konvensi partai sudah dekat, hingga sesuatu yang dapat menelan mereka bulat-bulat datang menghampiri. Bila sebelumnya Thomas selamat berhadapan dengan mendung, kali ini badai sudah siap menerjang. 

Kuliah Politik yang Tidak Menjemukan


Bila Negeri Para Bedebah berbicara tentang perputaran uang dunia, Negeri di Ujung Tanduk memilih untuk 'membongkar' rahasia dan kebobrokan sistem perpolitikan dunia, khususnya di negeri latar cerita. Tidak tanggung-tanggung pembongkarannya hampir blak-blakan seluruhnya dan tanpa ampun. Dalam satu konferensi, Thomas bahkan blak-blakan mengatakan bahwa politik 'hanyalah' bisnis omong kosong. Semakin hebat seseorang menjual omong kosongnya maka kemungkinan untuk menang juga akan semakin besar. 

Korban dari sistem bobrok ini diperlihatkan pada diri klien Thomas yang merupakan bakal calon presiden. Orang yang terkenal jujur dan mempunyai reputasi yang baik di mata masyarakat ini kemudian dijungkalkan karena dianggap tidak cocok dengan mayoritas. 

Melihat tahun rilis Negeri di Ujung Tanduk yang berada di 2014, tepat di tengah panasnya pemilu, saya curiga kalau buku ini memang dipersembahkan Tere Liye untuk menyindir perpolitikan tanah air saat itu. Apalagi, deskripsi beberapa karakter sangat mirip dengan beberapa tokoh garda depan perpolitikan tanah air. 

Terlepas dari sindir-menyindir, sama seperti buku pertamanya, Negeri di Ujung Tanduk juga berhasil menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak nyambung. Meskipun masih lebih nyambungvkah fibandingkan baca malalahbekonoki samplnil dikejar FBI. 

Buku ini terlihat sangat terikat dengan kehidupan. Hal itu yang membuat membaca Negeri di Ujung Tanduk seperti membaca refleksi kehidupan yang nyata dan tanpa disensor. Kelugasan Tere Liye dalam menulis adalah salah satu kekuatan dari novel-novelnya, termasuk Negeri di Ujung Tanduk.

Penutup


Negeri di Ujung Tanduk adalah sebuah sekuel yang sekali lagi mampu mempertontonkan sisi dunia yang nyata. Apabila Negeri Para Bedebah sukses menyoroti sisi ekonomi dunia yang berputar bagai tak dapat dibendung, Negeri di Ujung Tanduk hadir merekam sisi gelap manusia dalam bisnis omong kosongnya yang terkadang menghasilkan badai, politik.

Comments