Yuni dan Pencarian Kebebasan Bagi Para Perempuan

Oleh: Syafril Agung Oloan Siregar

Credit: Starvision Plus, Fourcolours Film


Judul

: Yuni

Sutradara

: Kamila Andini

Penulis Skenario

: Kamila Andini

Genre

: Drama

Pemain

: Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya, Marissa Anita, Asmara Abigail, Neneng Wulandari

Rilis

: 9 Desember 2021

Durasi

: 122 Menit


Di review ini, gue mencoba untuk mengulas Yuni yang dirilis di bioskop dan mencoba membahas sedikit mengenai versi festivalnya. 

Yuni adalah film tentang perempuan dan kebebasannya yang digarap dengan lembut oleh Kamila Andini. Hal yang ingin disampaikan oleh Kamila Andini terasa semakin jelas di versi bioskopnya ini. Semuanya terasa runut dan rapi. Ada urutan sebab-akibat yang terkadang kurang terasa di versi festivalnya. 

Kedua versi ini, pada dasarnya sama sama bagus dan luar biasa, tetapi kalau disuruh memilih, gue akan memilih versi bioskopnya. Terutama karena pengulikan karakternya yang lebih dalam di versi bioskopnya. Hubungan Yuni dengan sekitarnya diperlihatkan lebih gamblang. Termasuk interaksinya dengan kedua orang tuanya dan karakter Suci yang diperankan oleh Asmara Abigail. Karakter Suci sendiri juga lebih diulik lebih dalam latar belakang dan perannya bagi kehidupan Yuni. 

Perempuan dan kebebasan memang adalah dua hal yang sulit untuk menyatu. Salah satu penyebabnya adalah kultur patriarki yang telah mengakar kuat di mayoritas peradaban umat manusia. Termasuk di Indonesia, yang dalam hal ini direpresentasikan di suatu wilayah perkampungan di Provinsi Banten. 

Meski seringkali menimbulkan hal-hal menyedihkan, sebenarnya patriarki tidaklah melulu salah. Pada dasarnya, kultur patriarki adalah suatu hal yang diciptakan manusia untuk membantu mereka bertahan hidup dan melanjutkan keturunan. 

Penjelasannya begini. DNA manusia itu memiliki dua jenis kromosom, X dan Y. Kromosom X itu lebih banyak tiga kali dibandingkan kromosom Y. Masalahnya, kromosom Y hanya terdapat pada laki-laki. Insting natural inilah yang membuat manusia jadi secara natural lebih menjaga laki-laki dibandingkan perempuan. 

Masalah muncul ketika hal yang natural ini seringkali disalahgunakan oleh banyak orang. Umumnya laki-laki. Mereka menekan perempuan dengan berbagai aturan yang membuat perempuan terkekang. Meski awalnya tidak ada pemberontakan terang-terangan, perkembangan ilmu pengetahuan dan mulai diperkenalkannya kebebasan berpikir membuat kaum wanita jadi mulai menolak secara terang-terangan atas hal ini. 

Menurut gue sendiri, hal yang perlu dilakukan adalah mengambil jalan tengah. Patriarki tetap dibutuhkan untuk mempertahankan eksistensi manusia, tetapi hak-hak wanita juga tetap diberikan tanpa terkecuali. Sulit? Ya, itulah tantangan umat manusia yang harus diselesaikan sesegera mungkin. Gue bukan seorang filosof dalam hal ini, hanya beropini berdasarkan keterangan yang gue simpulkan dari berbagai sumber yang gue terima. 

Isu itulah yang coba dibahas Kamila Andini dengan sangat lembut. Dia tidak menggambarkan hal itu serta merta melalui karakter lelaki tak beradab yang menyiksa perempuan. Tidak selalu begitu. Dia juga menggambarkan hal tersebut lewat sistem dan kultur di masyarakat yang sudah mendarah daging. 

Di versi bioskopnya, penggambaran tersebut semakin terasa relevan dan mulus. Detail ceritanya lebih ditekankan lagi. Mulai dari soal stigma masyarakat, seruan untuk perempuan bersuara, hingga hambatan hidup yang dialami para perempuan. Mulai dari Yuni, keluarganya, hingga teman-temannya. 

Pujian yang tak kalah banyak juga harus diberikan kepada Arawinda Kirana atas performamya yang sangat menawan. Ia sangat berani menampilkan Yuni secara utuh. Mulai dari sisi lembut Yuni hingga sisi paling liarnya ditampilkan semuanya olehnya. 

Di versi bioskop, lagi-lagi eksploasi akting Arawinda bertambah karena ada adegan di mana ia menyanyi dengan penuh penghayatan. Ia terlihat sangat menghayati isi dari lagu tersebut. Sangat layak ia mendapatkan Piala Citra untuk perannya ini. Sangat layak pula kalau dikatakan kalau sinema Indonesia sudah mengamankan satu bakat besar yang akan meramaikan sinema Indonesia ke depannya. 

Kekuatan Yuni  versi bioskop yang tidak lain adalah endingnya yang sangat luar biasa ajaib. Bahkan lebih ajaib dari ending versi festival.  Apabila ending versi festivalnya masih dapat diperdebatkan, gue rasa ending versi bioskopnya sudah tidak perlu lagi diperdebatkan apa maknanya. Karena bahkan jika yang dinilai hanya dari unsur estetikanya, maknanya sudah terlihat sangat jelas. Sebuah ending yang akan gue nobatkan sebagai ending film terbaik di tahun ini.

Yuni adalah film tentang perempuan yang dipenuhi dengan semangat menggebu-gebu. Film yang semoga saja menjadi salah satu alat perjuangan yang digunakan untuk para perempuan yang masih berjuang demi kebebasannya. Adios.

Personal score: 4,5/5

Comments